Tuesday, December 18, 2012

Natal Di Belantara Kota

Bulan Desember telah tiba 
Hari Natal di depan mata 
Gegap gempita semakin terasa 
 Hati dan jiwa bersukacita

Desember memang bulan yang luar biasa, seperti terungkap ucapan di atas. Lampu hias bertebaran di mana-mana. Dekorasi penuh warna didedikasikan bagi tibanya hari Natal. Lagu merdu nan riang menggema silih berganti. Begitu juga dengan hadiah-hadiah indah dijajakan secara terbuka. Tetapi pertanyaannya, apakah kemeriahan ini karena makna Natal yang penuh sukacita, ataukah karena tradisi dan jiwa manusia modern semata?

Dunia Yang Berubah 
Dunia yang kita huni ini senantiasa bergerak dan berubah. Modernitas adalah wujud dan hasil perubahan itu. Pembangunan yang pesat dan teknologi yang mutakhir menandai masa keemasan zaman modern. Misalnya, manusia modern paling kentara terlihat dalam pemakaian teknologi. Orang yang gaptek (gagap teknologi) dengan mudah dicap wong deso atau kuno. Tetapi mereka yang dekat dengan teknologi disegani dan dihormati tanpa batas, bahkan dipuja sebagai manusia canggih.

Di era modern ini dunia terasa menjadi sangat kecil; sekalipun tidak selebar daun kelor, tetapi hampir seperti sebuah desa. Telekomunikasi yang mutakhir membuat jarak yang jauh seperti menyusut di depan mata. Teknologi membuat jargon connecting people menjadi sebuah realitas. Setiap orang terhubung begitu mudah. Kita bisa bertegur sapa dengan manusia di belahan dunia manapun, dalam waktu sangat singkat. Bahkan, kehebatan transportasi mampu menghantarkan manusia ke sisi manapun di bumi ini, bahkan juga luar angkasa.


Jejaring-jejaring sosial hadir dengan banyak keuntungan yang memuaskan. Email, Facebook, Twitter, Google membawa seluruh dunia lebih dekat pada kita. Bahkan, jejaring sosial elektronik hampir ‘menghancurkan’ seluruh kantor pos di perkotaan, sebab surat-menyurat tidak lagi menarik dalam relasi antar pribadi. Mengapa? Karena orang modern mengejar cara instan. Dengan cara itu juga mereka berusaha ‘menggenggam’ dunia dan menikmatinya dengan leluasa. Bahkan, terkadang dunia rasanya menjadi milik sendiri. Masing-masing asyik dengan dunianya: adik asyik main games, kakak terpana televisi, ayah sibuk BBM, ibu fokus update status. Dalam hal ini, terjadi kontradiksi yang sangat tajam: dunia yang jauh menjadi dekat, tetapi yang dekat terasa menjadi sangat jauh.

Pada sisi lain, pembangunan dengan pesat menyempurnakan modernitas. Gedung-gedung pencakar langit tanpa henti didirikan untuk mendukung kemajuan ekonomi. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan seperti mall, supermarket, minimarket, cafe dan bioskop tumbuh menjamur memanjakan keinginan manusia yang tidak terkendali. Rekreasi tidak lagi dipusatkan di belantara alam, tetapi di belantara kota yang gemerlap tanpa pernah padam.

Natal Yang Berubah 
Lalu, bagaimanakah wajah Natal di era modern ini? Ternyata, era modern tidak saja mampu mengubah wajah dunia dan manusia, tetapi juga wajah Natal yang mulia. Natal di belantara kota tidak lepas dari tampilan kemeriahan. Dunia fokus pada simbol-simbol Natal. Tengok saja, semua orang sibuk merias perkantoran, rumah dan tempat perbelanjaan untuk menyambut Natal. Natal penuh semarak dan seolah menjadi milik semua orang.

Di era ini, Natal bukan lagi sebuah perayaan kesederhanaan, tetapi ajang pamer kegemerlapan. Natal bagaikan fashion show yang mengedepankan penampilan dan aksesoris. Semua orang berlomba mempertunjukkan kebolehan, baik dalam menata suasana rumah, memburu hadiah terindah, memasak makanan ternikmat, maupun memanjar lokasi terindah untuk libur panjang. Prestisius, adalah kata yang pas untuk perayaan Natal di era ini.

Perayaan Natal di gereja bisa lebih mengejutkan lagi. Panitia biasanya mengalami tekanan besar menjelang Natal. Mereka memikirkan paduan suara, drama, opera, tari-tarian, artis terkenal, musik yang sempurna, hadiah istimewa, pohon Natal versi baru, pelayanan masyarakat, dan sejumlah kegiatan lainnya. Bahkan, tidak jarang terjadi perselisihan dalam persiapan semua itu. Mengapa? Karena orang modern selalu menuntut perayaan Natal yang menarik. Kisah Maria dan kandang domba sudah terlalu membosankan. Para gembala dan malaikat pun menjadi sulit dibayangkan. Orang Majus juga tidak lagi dikagumi, karena mereka sudah dianggap terlalu tua dan kuno.

Orang modern mencari Natal yang kreatif dan atraktif. Natal yang menarik harus memuat pertunjukan. Natal harus entertaining. Heboh. Meriah. Akibatnya, Natal identik dengan pesta pora. Orang modern lebih mencari kesenangan ketimbang ketenangan. Mereka mencari acara bagus, bukan ‘bayi Yesus’. Natal dinanti karena adanya pesta, bukan anugerah Allah yang dinyatakan di dalamnya.

Natal di belantara kota cenderung menyesatkan kita pada kenikmatan dan hura-hura, sehingga kesederhanaan dan belarasa Kristus bagi manusia semakin dilupakan saja. Itulah yang membuat Natal kehilangan makna. Segera setelah Desember lewat, kesibukan pun berakhir. Simbol-simbol Natal hilang, sukacitanya pun pergi. Apa yang tersisa? Barangkali, jawabnya bisa sangat menyedihkan. Tidak ada yang tersisa. Hati kosong, tetap kosong dan bahkan semakin kosong. Dalam kondisi demikian, Natal bukan saja menjadi tidak bermakna, tapi bahkan sesat makna.

Natal Bagi Manusia Modern 
Natal adalah lawatan Allah. Natal adalah wujud kepedulian Allah kepada dunia. Di situ terbukti usaha Allah mencari, menyelamatkan, dan menerima manusia apa adanya. Allah bahkan hadir dalam kesahajaan sebagai bukti keberpihakan kepada kita. Inilah makna dari Natal: Immanuel, Allah beserta kita. 

Dengan begitu, Natal mengajak kita untuk selalu berefleksi. Kita kembali mengoreksi diri agar menjauh dari sifat rakus dan tamak akan budaya hedonis. Terlalu banyak orang yang digerogoti nafsu diri yang tidak terkendali. Karena itu, Natal mengajar kita untuk mampu menahan diri. Natal sangat lekat dengan nilai kesederhanaan. Di tengah dunia yang condong menonjolkan diri, kita diajar melepas kemewahan. Di tengah gaya hidup yang gemerlap, kita diajar mengosongkan diri. Ingat, Tuhan Yesus adalah satu-satunya pribadi yang bisa memilih tempat di mana Ia dilahirkan, dan ia memilih lahir di palungan. Itu berarti, kesederhanaan dan kerendahan hati mestilah juga meresapi hidup kita.

Tidak hanya itu, Natal secara khusus membawa kita bersatu dengan Kristus. Ini ditandai dengan kesediaan diilhami oleh teladan-Nya yang sempurna. Teladan seperti apa? Teladan Yesus yang hidup mengasihi, yang merobek dunia yang penuh kebencian dan persaingan. Teladan Yesus yang rela berkorban, yang mampu mengikis keegoisan diri. Semangat Yesus dalam memberi diri, yang mengajar kita untuk selalu berbagi dengan sesama. Teladan seperti ini sangat mendesak untuk kita miliki, khususnya di tengah belantara kota dengan manusia yang semakin egois dan sukar peduli ini.

Lalu, apa artinya kemajuan teknologi? Modernitas memang tidak akan terbendung. Tetapi kita bisa memberdayakannya sedemikian rupa. Kemajuan teknologi harus membuat kita mampu menjangkau orang-orang yang jauh, sehingga dapat menghayati kasih Natal bersama-sama. Saat ini, tidak ada lagi alasan untuk tidak berkomunikasi. Tidak ada alasan untuk sulit berelasi, karena dunia sudah menyediakan jalan-jalannya. Tinggal bersediakah kita menjadikannya peluang membangun diri, keluarga, gereja dan masyarakat melalui kasih Natal yang terus kita bagikan?

Selamat Hari Natal. 
Immanuel.

1 comment:

Sabe Satta Bhavantu Shukitatta