Friday, May 22, 2009

Menguduskan Nama Allah Dengan Hidup Kudus

(Kis 1:15-17, 21-26; Mzm 1; 1 Yoh 5:9-13; Yoh 17:6-19)

Bagi bangsa Israel, nama bukanlah sekadar sebutan, panggilan atau tanda pengenal; tetapi menyatakan sifat, karakter atau kepribadian yang memilikinya (bdk 1 Sam 25:25). Setiap nama orang Israel mengandung makna dan pesan pengalaman iman yang sangat khusus. Lalu bagaimana dengan nama Ucok, Slamet, Kanti, Rina, Sipayung atau Horas? Apa maknanya? Soal ini tanyalah pada empunya nama! Yang pasti orangtua memberi nama sesuai pengalaman dan harapan yang tersirat di dalam hati mereka.

Demikian pula sebutan dan nama Allah selalu menggambarkan jatidiri Allah sendiri. Sehingga "menguduskan nama Allah" selalu berarti memuliakan dan meninggikan jatidiri Allah. Itulah sebabnya setiap nabi selalu mengajak umat untuk senantiasa menguduskan nama Allah; bukan saja dengan ucapan, tetapi terlebih dengan hati dan hidup kudus. Tidak cukup dengan berseru: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan!" (bdk Yes 6:3; Why 4:8), melainkan dengan berbuat baik dalam hidup sehari-hari (bdk Mat 7:21; 2 Tes 3:13; Yak 2:14).

Konon Tolstoy, penulis terkenal Rusia, memiliki sebuah pengalaman kecil yang menarik. Suatu hari seorang pengemis menadahkan tangan kepadanya mengharap uang recehan. Setelah Tolstoy merogoh saku ternyata ia tidak membawa uang sama sekali. Maka ia berkata kepada pengemis itu: “Jangan marah Saudara, Saya sama sekali tidak membawa uang untuk Saudara.” Wajah pengemis itu sangat berseri ketika berkata: “Tapi bapak sudah panggil Saudara kepada Saya, itu adalah hadiah yang sangat besar!”.

Kita memang tidak tahu apakah sikap baik hati kedua orang di atas karena imannya kepada Tuhan Yesus. Namun rasanya tidak banyak orang seperti mereka; dengan kepedulian, keramahan, keterbukaan dan ketulusan berkata sebagai bentuk penghargaan. Kalau kita tersadar, malah banyak orang yang lama dekat dengan Tuhan, namun tidak memiliki sikap hati seperti itu. Tengok Yudas. Setiap hari hidup bersama Tuhan Yesus. Melihat mukjizat-Nya dengan mata kepala sendiri. Namun Yudas tidak banyak berubah. Hatinya tetap keras. Pikirannya tetap jahat. Hal ini sama fatalnya dengan orang yang mengaku telah mengenal Tuhan, namun suka melakukan kekejian layaknya teroris. Inikah jalan menguduskan nama Allah?

Mari belajar pada Yesus. Dari sudut insani, Kristus telah mempermuliakan nama Allah secara sempurna dan total, yaitu dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan Allah kepada-Nya. Di Yoh 17:4, Tuhan Yesus berkata: “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya”. Sikap pengudusan nama Allah senantiasa diwujudkan dalam karya yang mempermuliakan Allah. Sebagai manusia, Yesus berkarya dan karya-Nya itu mampu memulihkan hubungan Allah dengan manusia lewat pengurbanan dan kematian-Nya.

Dari sudut ilahi, Kristus adalah satu-satunya pribadi ilahi yang ditetapkan Allah sebagai penyata nama Allah. Manakala Kristus disebut sebagai penyata nama allah, maka maksudnya adalah bahwa Tuhan Yesus adalah penyata diri Allah. Melalui hidup dan karyanya, manusia dapat melihat kehadiran Sang “YHWH”. Di Yoh. 14:7, Tuhan Yesus berkata: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia". Kristus menyatakan ke-diri-an Allah melalui seluruh sifat, karakter, rencana dan karyanya. Pada saat seseorang melihat Yesus, maka pada saat itu juga dia telah melihat Allah Pengasih.

Bagaimana dengan kita? Saudara, Allah itu kudus, sehingga kita dipanggil untuk hidup kudus di hadapan-Nya. Tanpa kekudusan, maka kita tidak diperkenankan untuk memandang dan berjumpa dengan Allah. Di Mat 5:8, Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”. Karena itu panggilan setiap umat percaya adalah terus-menerus membangun iman dan kasihnya di atas kekudusan.
Kekudusan selalu bersifat membebaskan dan menyelamatkan, melalui tindakan yang adil, benar dan dalam perbuatan-perbuatan baik. Menurut Mzm 1, seyogyanya kita bagaikan pohon yang ditanam dekat Sumber Air Hidup, yang selalu menghasilkan buah-buah manis untuk dinikmati semua orang. Berjuanglah. Immanuel. Amin

Tuesday, May 19, 2009

Kasih Seorang Sahabat

(Kis 10:44-48; Yoh 15:9-17)

Pembukaan
Sebenarnya ada ratusan buku dan film yang telah mengupas betapa indahnya memiliki sahabat sejati ataupun betapa sakitnya hati dikhianati orang kepercayaan sendiri. Seperti warna-warni persahabatan yang disajikan film remaja “kepompong”. Dalam lirik soundtracknya saja sudah kaya pesan “Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu”. Persahabatan itu menakjubkan. Persahabatan itu menutupi kejijikan, tidak suka mengumbar kejelekan, tetapi melahirkan segala kebaikan hidup, menjadikan hidup lebih indah dan lebih berharga.

Pola Persahabatan Manusia
Tetapi, ternyata mencari sahabat sejati bukan perkara mudah. Sangat sulit. Mengapa? Karena setiap orang punya kriteria dan syaratnya tersendiri. Jangan hitam, jangan putih, mesti punya mobil, mesti cantik, tampan, berkaki empat, sederajat… Mesti ini…. Mesti begitu… jangan begini… Kalau dilist, bisa melebihi panjangnya daftar belanjaan ke pasar. Itulah sebabnya jumlah sahabat kita sangat sedikit dibanding banyaknya teman yang kita miliki. Kasih yang dimiliki manusia terlalu memilih-milih. Dengan kata lain kita terlalu pilih kasih. Rasanya kita perlu pencerahan: Kalau kasih sudah memilih-milih, apakah itu masih kasih namanya?

Tetapi, berbanding terbalik dengan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tidak pernah membatasi diri dalam bersahabat. Tidak pernah pasang label-label syarat. Tidak pernah menolak yang mendekat, tidak pernah menghalangi siapapun yang mau bersahabat, tidak mesti seorang pejabat, dan Dia selalu menunjukkan kasih seorang sahabat kepada siapapun yang ditemuinya. Bahkan menurut pengalaman Petrus, Kristus tidak saja mau bersahabat dengan para murid, tetapi juga dengan semua orang, termasuk orang-orang asing. Bangsa-bangsa lain yang dianggap kafir dan yang sering tidak mauk hitungan. Namun mereka juga dilayakkan kasih dan curahan Roh Kehidupan.

Biasanya prinsip manusia modern berbunyi begini: Di dunia ini tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan sejati. Ngeri yach... Itulah sebabnya dunia politik tidak pernah tidur, selalu memanas dan penuh gejolak. Demi kepentingan, persahabatan bisa hancur. Partai terbagi tiga. Koalisi berantakan. Perusahaan seperti mainan yang diperebutkan antar saudara. Demi kepentingan gereja juga bisa ribut. Kawan menikam dari belakang. Saling menghujat. Dan sebagainya. Inilah yang terjadi kalau kita kehilangan kasih Allah, tak ada kasih seorang sahabat.

Bunda Teresa pernah berkata, “Penyakit yang paling parah di dunia ini bukanlah kusta, kanker, jantung ataupun typhus, melainkan hidup tanpa kasih.” Penyakit yang paling menyakitkan bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit hati yang hampa kasih sayang. Pada jadinya rumah tangga tanpa kasih, sekolah tanpa kasih dan gereja tanpa kasih? Hidup tanpa kasih ibarat dunia tanpa mentari, gelap gulita, hampa dan tidak berwarna. Tetapi dengan kasih, di rumah sakit orang menemukan arti hidup. Di panti, dengan kasih panti asuhan melebihi damainya istana raja.

Allah Bersahabat dengan Manusia
Sebuah penerbitan di Inggris pernah mengadakan sayembara definisi terbaik tentang persahabatan. Banyak orang yang ikut. Ada yang mengatakan sahabat adalah orang yang selalu mengerti kita. Ada juga yang mendefinisikan sahabat adalah orang yang menambah sukacita kita dan membagi kesedihan kita. Tetapi definisi yang memenangkan sayembara itu berbunyi sahabat adalah seseorang yang mendekat di saat dunia menjauh darimu!

Pengertian ini begitu mendalam bahwa kasih seorang sahabat tidak saja nampak di saat kita bersukacita, tetapi juga saat dunia terasa menimpa kita. Bukan kita senang dia datang, kita susah dia pergi. Tetapi justru dia mendekat di kala dunia sedang menjauhi kita. Menurut Ams 17:17, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Seorang sahabat peduli setiap saat. Dia tulus dan bahagia saat kita berhasil, dan selalu menghibur saat kita putus asa. Ketika kita mengalami kesulitan, ia seperti saudara yang selalu menopang dan menolong sedemikian rupa.

Rasanya memang sulit menemukan sahabat yang demikian. Tetapi inilah gambaran kasih yang telah ditunjukkan Allah kepada manusia. Sejak awal Injil Yohanes telah menegaskan bahwa Kristus adalah inkarnasi Allah (Allah yang menjelma menjadi manusia). Firman hidup yang menjadi daging. Kasih Allah yang mewujud dalam rupa insani. Di dalam Kristus kita melihat Allah yang mau bersahabat dengan manusia. Yang Kudus menghampiri orang berdosa. Yang Mulia tinggal bersama orang bernoda.

Tetapi Tuhan Yesus tidak main-main. Dia tidak hanya mengajar, tetapi selalu membuktikan apa yang dikatakan-Nya. Membuktikan bagaimana berperan sebagai seorang sahabat sejati. Yesus berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Seorang sahabat sejati tidak akan mengorbankan orang lain agar dirinya selamat. Sebaliknya, seorang sahabat selalu bersedia mengorbankan dirinya sendiri, demi keselamatan sahabat-sahabatnya. Pengorbanan sahabat pertama: pengenalan yang mendalam. Kedua, selalu ada untuk sahabat. Ketiga, selalu memberi yang terbaik untuk sahabat. Tentu saja pengorbanan ini lahir dari dasar kasih, kasih yang hidup, kasih yang meluap dan selalu ingin tercurah lewat tindakan yang nyata. Tanpa kasih, kita tidak mungkin menjadi sahabat sejati.

Budak menjadi Sahabat Allah
Lagi-lagi mungkin kita bertanya, apa untungnya menjadi sahabat Yesus? Apa istimewanya? Seorang sahabat sejati tidak pernah mengungkit-ungkit kesalahan kita. Demikian pula Kristus, tidak lagi menghitung-hitung besarnya dosa kita. Sejauh timur dari barat demikianlah ia membuang dosa kita, sejauh langit dari bumi demikianlah ia melempar kesalahan kita. Ketika kita membuka diri menyambut kerinduan Tuhan, kita tidak lagi disebut-Nya hamba atau budak, melainkan sahabat kekasih. Lebih dari pada itu, Ia malah menceritakan kepada kita segala rencana hati-Nya, yang sedang mengerjakan keselamatan dan hidup kekal bagi kita. Kita menjadi orang-orang yang berpengharapan. Orang yang berbahagia karena dikasihi sang pencipta. Pengorbanan-Nya bagi kita sahabat-sahabat-Nya adalah pengorbanan yang menebus, kasih yang menyelamatkan.

Bagaimana dengan Kita?
Bila Kristus telah mau solider dengan kita, dan memperlakukan kita sebagai saudara-Nya, bagaimana dengan kita? Maukah kita juga memperlakukan sesama kita seperti sahabat kita sendiri? Jika Kristus telah menunjukkan kasih sejati seorang sahabat, bagaimana dengan kita? Maukah kita belajar memiliki kasih seperti itu? Tahukah Saudara bahwa hanya dengan demikian maka kita akan semakin dibentuk, untuk menjadi saudara bagi Kristus.

Dikisahkan seorang raja yang memiliki musuh besar. Berulangkali musuh tersebut mencoba menyerang sang raja tersebut. Karena itu panglima perang dan pimpinan pasukan selalu bersiap diri menghadapi serangan dari lawan tersebut. Tetapi yang mengherankan, suatu hari sang raja justru mengundang sang lawan makan bersama dalam sebuah jamuan besar. Usai jamuan itu, panglima bertanya, mengapa raja justru mengundang musuh tersebut makan bersama. Raja menjawab, “Tenanglah, aku telah mengalahkan musuh kita dan mengubahnya menjadi sahabat kita. Jadi kita tidak perlu berperang lagi”.

Bagaimana dengan kita? Apakah kehidupan kita dipenuhi oleh kasih Kristus sehingga kita mampu mengubah setiap lawan menjadi para sahabat kita? Apakah kita mampu memperlakukan semua orang sebagai sahabat kita dan mengarahkan mereka untuk berpegang kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan? Berbahagialah jikalau lingkup persahabatan kita selalu meluas dan menerobos tembok-tembok pemisah, sehingga semakin banyak orang yang mengenal kasih Kristus.

Friday, May 8, 2009

Karakter Pemimpin: Modal Dasar

Saya yakin Saudara pasti pernah melihat atau dapat membayangkan sebuah gunung es di tengah laut. Sadarkah Saudara bahwa gunung es yang nampak di permukaan air itu hanyalah 10 persen saja, sementara 90 persennya ada di bawah permukaan laut. Dan, justru yang membuat kapal tenggelam adalah bagian bawahnya, yang seringkali tidak terlihat atau tersadari oleh kita.

Dalam analogi kepemimpinan, gunung es adalah gambaran yang menarik. Bagian yang 10 % itu menggambarkan keahlian kita, sementara yang 90% adalah karakter diri kita. Yang seringkali menghancurkan dan menenggelamkan diri kita bukanlah keahlian yang kita miliki, melainkan karakter diri kita sendiri. Pemimpin tanpa karakter yang kuat ibarat pohon besar tanpa akar yang kokoh, mudah tumbang dalam badai dunia.

Sembilan puluh persen dari kepemimpinan kita dibentuk oleh karakter. Karakter ini adalah jumlah total dari:
Disiplin Diri: kemampuan melakukan apa yang benar meskipun kita merasa tidak ingin melakukannya
Nilai-nilai Inti: prinsip-prinsip yang kita jalani yang memampukan kita untuk memiliki pegangan moral.
Kesadaran Identitas: gambaran diri yang realistis berdasarkan maksud Allah menciptakan kita
Keamanan Emosional: kapasitas untuk menjadi stabil secara emosional serta konsisten.

Banyak orang berusaha mengejar yang kelihatan, namun mengabaikan karakter diri sendiri. Keahlian mungkin membawa kita ke puncak prestasi, tetapi karakterlah yang membuat kita tetap bertahan di sana. Jika kita tidak memiliki karakter yang kuat, pada akhirnya kita sendirilah yang akan menghancurkan prestasi dan kepemimpinan kita.

Karakter yang lemah mungkin dimulai dengan kebohongan dan kebiasaan buruk yang kecil. Kemudian berkembang menciptakan penipuan, perampokan, kejahatan niat dan skandal kekerasan. Orang modern hanya menghabiskan 10 persen waktunya untuk mencapai 90 persen karakternya. Tetapi Yesus Kristus menghabiskan 90 persen waktunya untuk membentuk karakternya, untuk siap melakukan 10 persen dari apa yang membentuk kariernya.

Kita cenderung berada dalam situasi yang terburu-buru untuk mencapai produktivitas kerja, tetapi kita kerap lupa mempertahankan kehidupan karakter, dan gagal secara moral di sepanjang jalan. Berita buruknya adalah bagian yang berada di bawah permukaan airlah yang membuat kapal tenggelam. Karakter yang lemah pada akhirnya akan menghancurkan kemampuan kita memimpin. Berita baiknya adalah bagian yang di bawah justru akan menopang puncak gunung es tetap menjulang. Demikian pula karakter akan tetap mendukung keahlian kita untuk mencapai puncak tertinggi prestasi kehidupan kita. Keep Struggle.

Komunikasi Yang Menyatukan

(Kej 11:1-9; Kis 2:1-7)

Pengantar
Dalam ilmu pembangunan jemaat, salah satu penentu hidup-mati dan bangun-runtuhnya sebuah jemaat atau komunitas adalah iklimnya. Iklim ini adalah kondisi hubungan yang terjalin dan pola komunikasi yang tercipta di dalam sebuah komunitas. Kalau iklimnya persekutuannya panas, maka orang yang berada di dalamnya akan merasa gerah dan selalu ingin beranjak keluar. Kalau mendung, orang akan segan dan malas untuk beraktivitas di dalamnya. Kalau iklimnya gelap dan dingin, orang akan sulit bertumbuh, bergerak, berkarya dan melayani.

Akan tetapi, kalau iklimnya terang dan hangat, semua orang akan merasa nyaman, terbuka dan bebas berekspresi. Kalau hubungan yang terjalin hangat dan komunikasi terbuka antar anggota, semua orang akan senang berkarya dan melayani di dalam komunitas tersebut. Saat ini gereja, perusahaan ataupun pemerintahan membutuhkan komunikator-komunikator ulung sebagai pencair suasana, pembangun jembatan relasi, pencipta kekeluargaan dan penyampai pesan yang benar dan jitu. Kita dapat mengamati bahwa yang ‘pemilik’ dunia selalu orang-orang yang menguasai informasi dan pola-pola komunikasi yang relevan. Untuk menjadi pejabat tidak lagi susah-susah, tinggal membangun opini masyarakat yang baik lewat komunikasi yang baik dan ‘gencar’, dijamin pada pemilu yang akan datang pasti menang.

Dua Hasil Komunikasi
Komunikasi yang baik akan membangun dan mengembangkan keutuhan dan kesatuan komunitas. Komunikasi dapat mempertemukan orang, opini atau segala latar belakang yang berbeda-beda. Komunikasi yang baik tidak saja mempertemukan, tetapi terlebih mampu menghidupkan pertemuan itu dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai bersama. Namun pada sisi lain, harus juga disadari bahwa komunikasi yang buruk dapat mengakibatkan kebalikannya. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik dapat menciptakan ketegangan, pertikaian bahkan perpecahan. Kesalahpahaman selalu disebabkan oleh pola pengkomunikasian pesan yang tidak baik/tepat. Seringkali masalah muncul bukan karena beda pendapat, tetapi karena cara penyampaian dan penanggapan pesan yang tidak jitu. Pertikaian suami-istri disebabkan ketertutupan komunikasi. Ribut orangtua-anak disebabkan kekakuan bahasa. Kehancuran perusahaan disebabkan arus komunikasi yang berantakan. Demikian pula halnya di gereja. Akibatnya, tidak ada kesepahaman pengertian, malah menimbulkan ketegangan dan ketersinggungan yang membangkitkan emosi.

Komunikasi ala Babel
Kalau kita amati dengan baik kisah orang Babel dalam Kejadian 11di atas, di sana akan kita temukan pola komunikasi yang nggak nyambung. Komunikasi acak-acakan. Satu dengan yang lain tidak saling mengerti. Orang tidak memahami apa yang didengar dari kawan bicara. Setiap orang berbicara menurut maunya sendiri. Mereka tidak mencoba saling memahami. Tidak saling membuka diri. Akibatnya muncul ketegangan, kesabaran habis, emosi meledak, persatuan hilang dan perpisahan rasanya menjadi pilihan paling tepat.

Mengapa ini bisa terjadi? Ketika Tuhan melihat kota itu, Ia menemukan penduduknya dirasuk kesombongan dan keangkuhan. Mereka berambisi membangun menara tertinggi di dunia (mungkin mengalahkan menara kembarnya Malaysia) di mana mereka mengira dapat memanah matahari dari puncaknya. Hati manusia penuh ambisi, nafsu dan sempitnya egoisme diri. Kondisi ini tentu saja tidak dikenan Tuhan, sehingga harus menghentikan rencana angkuh mereka. Tuhan pintar. Ia tahu kelemahan manusia: komunikasi. Kacaukan saja komunikasi pekerjanya, maka mereka tidak akan saling memahami, sehingga menghentikan pembangunan menara. Kacaukan saja komunikasi rakyatnya, mereka akan saling menyalahkan dan membenci. Dengan demikian nafsu jahat kota itu tidak akan berlanjut lagi.

Kalau kita menyadari ini dengan baik, maka ada aplikasi menarik bagi kita. Kalau persekutuan kita diisi oleh ambisi dan kepentingan tiap-tiap orang, maka itulah awal kehancuran kita. Ambisi membuat tiap pribadi mengutamakan suara hati sendiri, memaksakan kehendak dan membatasi orang lain. Situasi tersebut membuat kita kehilangan kekompakan, meretas ketertutupan dan melahirkan ketegangan. Komunikasi yang tidak baik itulah awal kebinasaan persekutuan kita.

Komunikasi = Kabar Baik
Secara teologis, komunikasi harus dilihat sebagai upaya penyampaian kabar baik kepada semua orang. Isi komunikasi haruslah berita Injil yang mampu menghibur yang berduka, menguatkan yang lemah dan memotivasi yang putus asa. Oleh karena itu, komunikasi yang mesti dibangun adalah komunikasi yang memahami dan memberi pemahaman. Komunikasi itu mesti memahami konteks hidup orang lain dan strategi penyampaian pesan yang tetap. Pesan yang disampaikan harus dipahami oleh orang lain dan relevan dengan kebutuhan mereka. Untuk itu, kita harus memperhatikan metodenya dengan baik: pilihan kata, suasana dan waktu penyampaian berita.

Komunikasi itu juga harus menyampaikan nilai-nilai kebenaran yang memberi penyadaran baru. Komunikasi mesti membangun kesadaran diri dan kelompok.

Komunikasi ala Pentakosta
Jikalau komunikasi ala Babel menimbulkan kekacauan dan perpecahan, maka komunikasi ala Pentakosta melahirkan sebaliknya. Dalam kisah Pentakosta kita temukan bahwa semua murid berkumpul di satu tempat dan mengalami sukacita bersama. Mereka memang mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang berbeda-beda, tetapi itu tidak lantas mengacaukan mereka. Mereka tetap sehati. Bahkan orang lain yang melihatnya juga tercengang-cengang, karena mereka mengerti pesan yang disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.

Komunikasi Pentakosta ini sungguh-sungguh menumbuhkan kesatuan, pengertian, mendatangkan damai sejahtera dan membuka penerimaan bagi orang-orang baru. Komunikasi para murid sungguh telah membongkar tembok-tembok pemisah di antara mereka ataupun ‘kelompok dalam’ dengan ‘kelompok luar’. Pada waktu yang sama, komunikasi yang baik itu juga telah membangun jembatan penyatu antar tiap-tiap orang, sehingga terbuka gerbang seluas-luasnya untuk siapapun yang bermaksud untuk masuk ke dalamnya.

Menurut kesaksian dokter Lukas, rahasia terciptanya komunikasi yang baik itu adalah karena tiap-tiap orang dikuasai oleh Roh Kudus. Ketika Roh Kudus turun ke atas mereka, maka Roh itu juga berkuasa atas diri mereka. Dengan demikian, egoisme, nafsu, ambisi dan pementingan diri sendiri menjadi lenyap. Roh Kudus menyatukan hati mereka dan menumbuhkan sukacita besar. Perbedaan tidak lagi menjadi pembatas hubungan, melainkan kekayaan yang harus diberdayakan. Roh Kudus memampukan setiap orang menerima yang lain dengan sukacita, membagi kasih dengan tulus dan menyambut orang asing dengan lapang dada. Bahkan berita berita Injil mesti disampaikan kepada semua orang dengan cara komunikasi yang dapat dimengerti, yakni menggunakan bahasa masing-masing penerima. Dengan demikian, orang-orang lain juga menerima keselamatan dan damai sejahtera hidup dalam Kristus.

Panggilan
Saudara, paradigma berkomunikasi yang baru ini akan menuntun kita pada sebuah perubahan hidup, dengan iklim persekutuan yang hangat dan terang. Di dalamnya semua orang memiliki ruang yang cukup untuk bertumbuh, disambut dengan sukacita dan melayani dengan penuh gairah. Untuk itu, saat ini kita dipanggil untuk menjadi komunikator-komunikator Allah. Menjadi juru bicara Tuhan. Tugas kita ialah memberitakan Injil Allah kepada semua orang di sekitar kita:
Pembawa damai, di tengah kehidupan yang sarat dengan ketegangan dan pertengkaran
Pembawa terang,
di tengah kehidupan yang penuh kegelapan dan kehilafan hati
Pembawa pengampunan, di tengah kehidupan yang diwarnai nafsu balas dendam

Tuesday, May 5, 2009

Melenyapkan Ketakutan

"Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih." (1Yoh 4:18)

Ada banyak jenis rasa takut yang sering hinggap pada manusia. Setidaknya ada sekitar 565 jenis rasa takut (fobia) yang bisa merasuk. Ada rasa takut yang sangat berat seperti takut terhadap hantu (spektrophobia), takut menderita (fatophobia), takut mati (thanatophobia), takut akan kegagalan (atychiphobia), takut pada pernikahan (gamophobia). Ada juga rasa takut yang nampaknya aneh untuk kebanyakan orang lain seperti takut emas (aurophobia), takut akan wanita cantik (venustraphobia), takut bunga (anthophobia), takut sinar matahari (heliophobia), takut orang asing (xenophobia).

Contoh di atas menunjukkan bahwa begitu banyak ketakutan yang dapat hinggap dalam hati kita. Mungkin saat ini Anda sedang berada dalam situasi yang belum pernah Anda alami sebelumnya. Anda mungkin sedang menghadapi tanggung jawab baru yang Anda sendiri belum tahu pasti bagaimana menanganinya. Anda mungkin mempunyai kebutuhan yang jauh lebih besar dibanding sumber-sumber yang Anda miliki, dan rasa takut menyerang Anda, mengatakan bahwa Anda tidak akan berhasil. Anda mungkin merasa sendirian dalam keadaan Anda, sehingga rasa takut itu semakin mencekik Anda.

Nas 1 Yohanes di atas hendak menekankan bahwa dengan kasih Kristus yang kita miliki dalam hati kita, maka hilanglah segala ketakutan dan kekuatiran hidup. Coba kita renungkan. Apakah lawan dari rumah yang bernafaskan ketakutan? Tentu saja rumah yang bernafaskan cinta kasih. Rumah yang bernafas kasih adalah sebuah kehidupan yang di dalamnya kasih dikerjakan secara nyata: kasih kepada Allah dan sesama. Rumah yang bernafas kasih menawarkan persahabatan, penerimaan, perbaikan dan pemulihan. Penulis surat 1 Yohanes mengatakan: "Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan." Yang dimaksud adalah kasih llahi. Ketika Allah menyatakan kasihnya kepada manusia melalui anak-Nya yang mati tersalib, Allah membebaskan manusia dari belenggu ketakutan. Allah yang tadinya sangat jauh telah menjadi Allah yang sangat dekat, dan bahkan mengenakan kemanusiaan kita yang berada di bawah bayang-bayang hukuman kematian. la tidak mendekati manusia dengan tuntutan dan hukuman, melainkan dengan penebusan dan penyelamatan. Kasih Yesus mendamaikan hubungan manusia dengan Allah. Kasih-Nya menerima dan menyelamatkan manusia yang berdosa.

Saudara, setidaknya ada dua alasan mengapa kasih melenyapkan ketakutan:
a. Ketakutan akan hari penghakiman Allah (1 Yoh 4: 17-11).
Dalam konteks ini, ketakutan adalah perasaan negatif sebagai tersangka ketika berhadapan dengan pengadilan llahi. Ketakutan muncul karena Allah diposisikan sebagai hakim yang hanya memiliki moralitas keadilan. Dalam moralitas keadilan, yang salah dihukum dan yang benar diselamatkan. Namun Allah kita bukan hanya Allah yang mahaadil, melainkan juga mahakasih. Allah adalah kasih, barangsiapa mengenal eksistensi Allah yang adalah kasih, maka ketakutannya akan lenyap. Keadilan menghadapkan kita pada tuntutan dan hukuman, sedangkan kasih menghadapkan kita pada pengampunan, perbaikan dan penyelamatan. Dengan demikian, berhadapan dengan Allah yang adalah kasih, tidak lagi menakutkan.

b. Allah menghakimi dengan kriteria hidup dalam kasih.
Bagi orang yang tidak mengasihi Tuhan dan sesama, maka hari penghakiman menjadi hari yang menakutkan. Tetapi bagi yang mengasihi Tuhan dan sesama, ia tidak perlu takut. Dengan mengasihi berarti kita hidup dalam perdamaian dengan Allah dan sesama, sehingga tidak perlu takut baik pada hari penghakiman maupun pada kehidupan saat ini. Barangsiapa hidup dalam kasih, ia tidak perlu cemas akan dipersalahkan. la bebas dari rasa takut karena ia sudah memenuhi kriteria keselamatan. Atau setidaknya jika presentasi hidup dalam kasih sudah dikerjakan semaksimal mungkin dan ternyata tetap tidak sempurna juga, maka kasih Allah akan menyempurnakannya.

Di saat-saat kita merasa terdakwa, ingat selalu kalau kita adalah anak-anak Allah yang sangat dikasihi, dibeli dengan darah Yesus yang sangat mahal. Nilai kita sama dengan Yesus sendiri. Pada waktu kasih Kristus kita rasakan begitu sempurna dalam hidup kita, kita akan mempunyai keberanian dan manifestasi kemenangan akan terjadi.

Tuhan mempunyai rencana yang baik bagi Anda, dan Dia akan menyatakan rencanaNya itu pada waktu yang tepat. Jangan takut! Tuhan ada bersama Anda dan Dia tidak akan meninggalkan Anda tanpa bantuan! Jika Anda membutuhkan bantuan keuangan, Dia akan menyediakan. Jika Anda membutuhkan bantuan fisik, Dia akan membuat Anda bertahan sementara Anda menunggu termanifestasinya kesembuhan secara utuh. Jika Anda membutuhkan dukunga emosional, Dia akan menenangkan dan menghibur Anda dengan damai sejahtera dan penghiburan yang hanya bisa diberikan oleh Roh Kudus. Dia akan memelihara Anda dan memberikan kekuatan dalam setiap area hidup Anda. Tuhan ada untuk Anda dan bersama Anda, Dia bukan lawan Anda. Iblis adalah lawan Anda, tapi Tuhan ada di pihak Anda. Yang Maha Kuasa hidup di dalam Anda! (1 Yoh 4:4)

Kasih Kristus melenyapkan ketakutan

"Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih." (1Yoh 4:18)

Ada banyak jenis rasa takut yang sering hinggap pada manusia. Setidaknya ada sekitar 565 jenis rasa takut (fobia) yang bisa merasuk. Ada rasa takut yang sangat berat seperti takut terhadap hantu (spektrophobia), takut menderita (fatophobia), takut mati (thanatophobia), takut akan kegagalan (atychiphobia), takut pada pernikahan (gamophobia). Ada juga rasa takut yang nampaknya aneh untuk kebanyakan orang lain seperti takut emas (aurophobia), takut akan wanita cantik (venustraphobia), takut bunga (anthophobia), takut sinar matahari (heliophobia), takut orang asing (xenophobia).

Contoh di atas menunjukkan bahwa begitu banyak ketakutan yang dapat hinggap dalam hati kita. Mungkin saat ini Anda sedang berada dalam situasi yang belum pernah Anda alami sebelumnya. Anda mungkin sedang menghadapi tanggung jawab baru yang Anda sendiri belum tahu pasti bagaimana menanganinya. Anda mungkin mempunyai kebutuhan yang jauh lebih besar dibanding sumber-sumber yang Anda miliki, dan rasa takut menyerang Anda, mengatakan bahwa Anda tidak akan berhasil. Anda mungkin merasa sendirian dalam keadaan Anda, sehingga rasa takut itu semakin mencekik Anda.

Nas 1 Yohanes di atas hendak menekankan bahwa dengan kasih Kristus yang kita miliki dalam hati kita, maka hilanglah segala ketakutan dan kekuatiran hidup. Coba kita renungkan. Apakah lawan dari rumah yang bernafaskan ketakutan? Tentu saja rumah yang bernafaskan cinta kasih. Rumah yang bernafas kasih adalah sebuah kehidupan yang di dalamnya kasih dikerjakan secara nyata: kasih kepada Allah dan sesama. Rumah yang bernafas kasih menawarkan persahabatan, penerimaan, perbaikan dan pemulihan. Penulis surat 1 Yohanes mengatakan: "Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan." Yang dimaksud adalah kasih llahi. Ketika Allah menyatakan kasihnya kepada manusia melalui anak-Nya yang mati tersalib, Allah membebaskan manusia dari belenggu ketakutan. Allah yang tadinya sangat jauh telah menjadi Allah yang sangat dekat, dan bahkan mengenakan kemanusiaan kita yang berada di bawah bayang-bayang hukuman kematian. la tidak mendekati manusia dengan tuntutan dan hukuman, melainkan dengan penebusan dan penyelamatan. Kasih Yesus mendamaikan hubungan manusia dengan Allah. Kasih-Nya menerima dan menyelamatkan manusia yang berdosa.

Saudara, setidaknya ada dua alasan mengapa kasih melenyapkan ketakutan:
a. Ketakutan akan hari penghakiman Allah (1 Yoh 4: 17-11).
Dalam konteks ini, ketakutan adalah perasaan negatif sebagai tersangka ketika berhadapan dengan pengadilan llahi. Ketakutan muncul karena Allah diposisikan sebagai hakim yang hanya memiliki moralitas keadilan. Dalam moralitas keadilan, yang salah dihukum dan yang benar diselamatkan. Namun Allah kita bukan hanya Allah yang mahaadil, melainkan juga mahakasih. Allah adalah kasih, barangsiapa mengenal eksistensi Allah yang adalah kasih, maka ketakutannya akan lenyap. Keadilan menghadapkan kita pada tuntutan dan hukuman, sedangkan kasih menghadapkan kita pada pengampunan, perbaikan dan penyelamatan. Dengan demikian, berhadapan dengan Allah yang adalah kasih, tidak lagi menakutkan.

b. Allah menghakimi dengan kriteria hidup dalam kasih.
Bagi orang yang tidak mengasihi Tuhan dan sesama, maka hari penghakiman menjadi hari yang menakutkan. Tetapi bagi yang mengasihi Tuhan dan sesama, ia tidak perlu takut. Dengan mengasihi berarti kita hidup dalam perdamaian dengan Allah dan sesama, sehingga tidak perlu takut baik pada hari penghakiman maupun pada kehidupan saat ini. Barangsiapa hidup dalam kasih, ia tidak perlu cemas akan dipersalahkan. la bebas dari rasa takut karena ia sudah memenuhi kriteria keselamatan. Atau setidaknya jika presentasi hidup dalam kasih sudah dikerjakan semaksimal mungkin dan ternyata tetap tidak sempurna juga, maka kasih Allah akan menyempurnakannya.

Di saat-saat kita merasa terdakwa, ingat selalu kalau kita adalah anak-anak Allah yang sangat dikasihi, dibeli dengan darah Yesus yang sangat mahal. Nilai kita sama dengan Yesus sendiri. Pada waktu kasih Kristus kita rasakan begitu sempurna dalam hidup kita, kita akan mempunyai keberanian dan manifestasi kemenangan akan terjadi.

Tuhan mempunyai rencana yang baik bagi Anda, dan Dia akan menyatakan rencanaNya itu pada waktu yang tepat. Jangan takut! Tuhan ada bersama Anda dan Dia tidak akan meninggalkan Anda tanpa bantuan! Jika Anda membutuhkan bantuan keuangan, Dia akan menyediakan. Jika Anda membutuhkan bantuan fisik, Dia akan membuat Anda bertahan sementara Anda menunggu termanifestasinya kesembuhan secara utuh. Jika Anda membutuhkan dukunga emosional, Dia akan menenangkan dan menghibur Anda dengan damai sejahtera dan penghiburan yang hanya bisa diberikan oleh Roh Kudus. Dia akan memelihara Anda dan memberikan kekuatan dalam setiap area hidup Anda. Tuhan ada untuk Anda dan bersama Anda, Dia bukan lawan Anda. Iblis adalah lawan Anda, tapi Tuhan ada di pihak Anda. Yang Maha Kuasa hidup di dalam Anda! (1 Yoh 4:4)

Monday, May 4, 2009

Mengasihi Dengan Rela Berkorban

Pepatah para pecinta berbunyi demikian:

Seseorang dapat berkorban tanpa mengasihi,
tetapi tidak dapat mengasihi tanpa berkorban.

Kalau kita coba memahami bagian yang pertama, maka memang ada banyak contoh bahwa pengorbanan tidak selalu didasari pada kasih, tetapi juga sering karena ambisi, nafsu, kepentingan dan kebencian. Para terosris berkorban karena kebencian, ada juga yang bunuh diri karena putus asa, banyakk caleg berkorban habis-habisan hanya demi nafsu dan ambisi harta dan kekuasan. Tetapi ketika ambisi sirna, harapan juga sirna. Juga masih banyak pengorbanan lainnya yang mempertaruhkan harga diri demi materi, keluarga demi kerja dan iman demi sebuah pergaulan yang tidak menumbuhkan.
Tetapi kita akan tersentak ketika menyadari bahwa sesungguhnya kasih mesti selalu diikuti pengorbanan. Kasih selalu harus dibuktikan untuk dirasakan dan dirasakan untuk dibuktikan. Sekitar 50 tahun silam, Liu Guojiang (yang berusia 19 tahun) jatuh cinta pada seorang janda 29 tahun bernama Xu Chaoqin. Pada saat itu mencintai wanita yang lebih tua adalah suatu kejanggalan dan tidak dapat diterima. Seperti kisah Romeo dan Juliet, teman dan keluarga selalu mencela pasangan ini, karena perbedaan usia dan kenyataan bahwa Xu sudah punya beberapa anak.

Akhirnya pasangan ini memutuskan untuk melarikan diri dan tinggal di sebuah goa di pegunungan. Sekalipun memiliki kehidupan baru yang menyedihkan karena tidak memiliki apa-apa, namun cinta tetap mengikat mereka dalam kebahagiaan. Setelah 2 tahun tinggal di gunung itu, Liu mulai memahat anak-anak tangga, agar isterinya dapat naik-turun gunung dengan mudah. Proses memahat ini berlangsung terus selama 50 tahun.

Setengah abad kemudian, tahun 2001, sekelompok orang menjelajah hutan itu dan terheran saat menemukan 6000 anak tangga yang telah dibuat Liu dengan tangannya sendiri. Inilah bukti cinta. Liu meninggal pada usia 72 tahun dalam pelukan sang istri, karena sakit sepulang dari ladang. Tahun 2006 kisah ini menjadi satu dari 10 kisah cinta yang terkenal di China, dan anak tangga serta gua itu menjadi musium agar kisah cinta ini dapat hidup terus.

Pengorbanan Sang Gembala Baik
Kisah di atas menegaskan bahwa cinta baru berbuah lewat pengorbanan. Cinta yang hanya omong kosong namanya gombal, istilah kerennya lebay (suka berlebihan, banyak omong, ngibul). Dalam logika kita, cinta mesti nyata lewat tindakan, cinta ibu lewat pemeliharaan, cinta orang tua dalam memperjuangkan keutuhan keluarga, cinta kekasih dalam mendampingi dan membayar harga untuk sebuah kebahagiaan bersama.

Prinsip ini juga berlaku bagi Allah. Allah adalah kasih. Dan Allah mengasihi dunia. Logikanya: cinta Allah itu harus nyata, agar bisa kita mengerti. Lalu apa buktinya? Diawali pernyataan Yoh 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal...” Allah tidak sedang ngegombal. Allah serius....

Ungkapan kasih Allah itu ditunjukkan-Nya dalam analogi peran-Nya sebagai seorang gembala. Seorang gembala yang baik. Menurut Tuhan Yesus, gembala yang baik selalu ada untuk domba-dombanya. Gembala yang baik memelihara kebutuhan dombanya. Gembala yang baik selalu mengenal domba-dombanya. Gembala yang baik siap bertarung melawan serigala. Dan, gembala yang baik memberikan nyawanya hanya untuk menyelamatkan domba-Nya. Di deso, Saya masih menikmati mengembalakan kerbau. Setiap hari bawa ke padang rumput. Dijagain. Digiring ke air untuk minum dan ngobak. Menyabit rumput untuk makan malam. Pokoknya mirip Daud dah. Di leher kerbau itu selalu dipasang lonceng yang terbuat dari kayu. Kita mesti mengenal suara lonceng itu untuk membedakannya dari kerbau orang lain.

Demikianlah Kristus juga telah menjadi gembala yang baik. Sebagai gembala yang baik Ia mendampingi yang kesepian, merawat yang sakit, mencari yang hilang, memberikan nyawanya untuk domba-Nya dan merebut kembali kita dari mulut kematian. Sebagai gembala yang baik, Yesus mengenal kita satu persatu, mengerti kita manusia berdosa yang perlu penebusan dan penyelamatan. Tidak seperti gembala upahan yang kabur ketika ada masalah dan tidak bertanggungjawab, Yesus tetap berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menyelamatkan dan membawa kita pulang kembali ke rumah Bapa.

Suatu ketika mantan Presiden RI yang pertama, Bung Karno diundang menghadiri perayaan Natal di Jakarta dengan tema “Yesus Adalah Gembala Yang Baik”. Ketika diminta memberi sambutan, dengan suara lantang Bung Karno membaca tema tersebut, lalu berkata:”Itu salah!” Tentu saja membuat hadirin menjadi kebingungan, lalu katanya pula: ”Yesus Adalah Gembala Yang Terbaik!” Semua merasa lega dan bertepuk tangan gembira!

Kita tidak tahu seberapa dalam Bung Karno mengenal Tuhan Yesus. Tetapi apresiasi itu menunjukkan kedalaman hatinya dalam meneladani Yesus. Yesus yang inspirasional. Bagaimana dengan kita? Seberapa dalam kita sudah mengenal Yesus. Sebagai dombanya, seberapa dalam kita mengenal suara-Nya, mendengar dan mengikuti-Nya di belakang? Seberapa dalam kita memaknai pengorbanan-Nya dan belajar seperti dia?
Saudara, seringkali kadar pengorbanan kita diukur oleh besarnya imbalan yang akan kita dapatkan. Padahal, kasih itu alamiah, tidak direkayasa, tulus dan tidak menuntut upah. Sebagai contoh: bila kita melihat seorang wanita yang hamil tua, terpeleset saat menuruni tangga, pasti timbul keinginan untuk menolongnya. Kita segera menghampirinya tanpa terlebih dahulu bertanya apakah ibu itu kenal dengan kita atau tidak? Atau kita menanyakan lebih dulu siapa namanya dan tinggalnya di mana? Yang perlu adalah kita berkorban mengangkat dan mengantarnya ke rumah sakit, bahkan menemaninya hingga pulih.

Allah = Kasih = Berkorban
Rahasia Allah ialah kasih. Rahasia kasih ialah pengorbanan. Rahasia pengorbanan ialah kebahagiaan dalam memberi. Inilah yang mesti kita sadari bahwa Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, agar menjadi teladan bahwa kita juga wajib memberikan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Sebab setiap orang yang membenci saudaranya adalah pembunuh manusia. Dan seorang pembunuh tidak memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya. Tetapi mereka yang mengasihi dengan pengorbanan tidak akan pernah kekurangan dalam sukacita hidup. Memakan makanan enak itu menyenangkan, tetapi jauh lebih enak makan dengan orang yang kekurangan. Tidur di pastori itu menyenangkan, tetapi jauh lebih menyenangkan berbagi kasur dengan seorang sahabat. Naik motor itu menyenangkan, tetapi jauh lebih menyenangkan memberi tumpangan kepada orang yang sedang butuh tumpangan.
Sabe Satta Bhavantu Shukitatta