Wednesday, July 14, 2010

Melayani dengan Sukacita dan Sukarela

(Lukas 10: 38-42)

Saudara tentu pernah menyambut tamu di rumah, bukan? Masih ingatkah apa yang saudara lakukan saat itu? Banyak orang sengaja merepotkan diri berbelanja, memasak, pulang kerja lebih cepat dan merapikan rumah yang selama ini berantakan, hanya agar dapat menyambut tamu dengan kehangatan maksimal. Jelas ini wujud kasih yang besar terhadap tamu-tamu kita. Ketika dikunjungi Tuhan Yesus di rumahnya, Marta melakukan hal yang sama pula. Sebagai tuan rumah yang baik, Marta juga repot-repot menghidangkan sesuatu untuk Tuhan Yesus.

Siapapun akan senang menerima sambutan hangat seperti ini. Saya yakin Tuhan Yesus pun demikian. Lalu kenapa kemudian nampak ada persoalan di dalam pertemuan itu? Kenapa di akhir cerita Tuhan Yesus nampak lebih menghargai Maria daripada Marta?

Rasanya Marta dan Maria masing-masing telah melakukan tugas dengan benar. Yang seorang menemani Tuhan Yesus, yang lain menyiapkan hidangan. Bayangkan betapa hausnya Tuhan Yesus jika Maria dan Marta hanya mendengarkan-Nya berbicara. Tetapi juga betapa kasihannya Dia jika ditinggal sendirian di ruang tamu, sementara tuan rumah sibuk memasak di dapur. Jadi, baik Maria maupun Marta patut dihargai karena kesigapan masing-masing. Sambutan dan pelayanan mereka itu sudah hampir sempurna.

Hanya saja ada satu kekurangan, dan itu muncul dari Marta. Bukan karena pekerjaannya, tetapi sikapnya pada saat sibuk. Ketika mulai kewalahan melayani, mulai jugalah Marta cemburu dan iri kepada adiknya, Maria, yang hanya duduk mendengar Tuhan Yesus. Ia merasa bekerja sendiri, sibuk sendiri dan capek sendiri, sementara yang lain santai seolah tak peduli. Cemburu dan iri hati ini kemudian melahirkan kemarahan. Sekalipun halus, namun dirasakan Yesus sehingga Ia menasehati dengan lembut: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Paduan cemburu, iri hati dan kemarahan itulah yang kemudian merenggut sukacita dan kerelaan Marta dalam melayani. Sukacitanya berganti sungut-sungut. Kerelaan menjadi tuntutan. Pelayanan berubah menjadi pekerjaan, yang dilakukan separuh hati.

Jika harus jujur, Saya akan mengakui sulitnya merasakan sukacita dalam beberapa kesempatan pelayanan. Pernahkah saudara merasa hal yang sama? Pelayanan berjalan begitu saja. Tidak terasa. Tidak menyapa. Juga tidak mengubah apa-apa (siapa-siapa). Sebaliknya, saat itu kita malah menggerutu, terpaksa dan kesal. Ingin rasanya pelayanan itu lekas selesai, lalu pulang ke rumah dan segera beristirahat.

Menganalisa pengalaman ini, kita bisa menemukan beberapa pencuri sukacita itu. Pertama, sukacita hilang ketika kita merasa tidak ada yang peduli dengan pelayanan kita. Kita seolah bekerja sendiri, tidak dipandang dan juga tidak mendapat pertolongan. Hati kita menjadi hambar. Kedua, sukacita hilang ketika kita merasa pelayanan orang lain lebih ringan daripada pelayanan kita. Kita suka membanding-bandingkan. Kita mulai berpikir iri: “Mereka hanya rapat dan rapat, sementara kami yang menjalankan. Eeh… malah enak-enakan kasih komentar”. Ketiga, sukacita hilang ketika hati kita tidak lagi fokus pada pihak yang kita layani. Sukacita Marta hilang karena ia hanya memikirkan berat pekerjaannya, yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Akibatnya, penghargaannya berkurang pada Tuhan Yesus yang hanya duduk dan ngobrol dengan Maria.

Sikap Marta ini dinilai sebagai tindakan menyusahkan diri sendiri, sebab bukan makanan yang dicari Tuhan Yesus, melainkan persekutuan. Persekutuan itu terjalin antara Tuhan Yesus dan Maria, dan itu lebih utama daripada makanan jasmani; sebab manusia hidup bukan dari roti saja tetapi terlebih oleh firman Tuhan yang mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang telah mati.

Saudara, melayani tanpa sukacita itu melelahkan. Melayani tanpa kerelaan itu merugikan. Melayani tanpa memandang kepada Tuhan tentulah juga sia-sia. Jika begini terus kita hanya mendapat kekecewaan dan kepahitan hati. Oleh karena itu, mari berikan hati kita kepada Tuhan sepenuhnya. Hanya dengan begitu, kita akan mampu melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan semata untuk manusia. Dengan begitu pula, maka tidak ada lagi ruang untuk kecemburuan, iri hati dan kemarahan. Selamat melayani dengan rela dan sukacita. Amin.

Friday, July 9, 2010

Firman Tuhan dan Keberuntungan

Pencari Keberuntungan

Bicara soal beruntung dan apes, mujur dan sial, hoki dan sue (dua hal yang saling bertentangan) kira-kira mana yang lebih sering kita alami? Rasanya pengalaman tiap orang berbeda-beda, yach? Ada yang lebih banyak merasakan untung: keluar dari gerbang, di tengah jalan, di depan gereja, pas kebaktian ketemu yang cakep-cakep. Ada yang merasa lebih banyak mengalami apesnya: keluar dari rumah injak yang kuning (pisang), di jalan di senggol motor, nyampe di gereja kesirem air, kebaktian pembicaranya keren. Jadi, tiap orang berbeda.

Tetapi, seandainya Tuhan meminta kita memilih antara untung dan sial, hoki dan apes, tentu semua orang akan memilih untuk hoki terus. Tidak ada yang berniat memilih apes, sengsara dan sue terus. Tapi sayangnya Tuhan tidak pernah meminta kita untuk memilih demikian. Akibatnya manusia mencari caranya sendiri untuk menghindari kesialan itu, dan sebaliknya mengundang keberuntungan mendekat: memberi Nama bagus: Lucky, Tjwan, Untung dan Bejo. Memilih Warna: suka pake warna merah (sepatu, baju, barang dagangan, topi, ban dalam = lebay). Memilih Nomor cantik: rela beli no tlp seharga jutaan rupiah. Di Hongkong, seorang pria rela membayar lebih dari lima ratus juta rupiah untuk membeli plat mobil bernomor CCUE (baca: see see you yee). Dalam bahasa Kanton, kata-kata itu berarti “semua berjalan menurut keinginan seseorang”. Pemiliknya percaya, jika mengendarai mobil berplat nomor itu, keberuntungan menyertainya ke mana pun ia pergi. Ada juga yang mengusahakan keberuntungan lewat Fengshui: hindari rumah bernomor 4 dan 13 (4: D = Die, Death atau Si = mati).


Belajar dari Pengalaman Israel

Sampai di sini kita patut bertanya: Dari manakah datangnya keberuntungan itu? Siapakah yang memberikan keberuntungan itu? Siapakah yang membuat hidup kita beruntung dan bahagia?

Ternyata kecenderungan mencari jalan peruntungan menurut pikiran manusia sendiri tidak hanya terjadi di masa ini. Bangsa Israel pun berkali-kali mencoba mencari peruntungan menurut jalan pikiran mereka sendiri. Mereka membuat patung lembu emas, yang dikenal sebagai dewi kesuburan (berharap kemakmuran dan kesuburan akan berpihak kepada mereka) dan mereka pergi kepada tukang-tukang tenung (untuk mengetahui nasib mereka). Atas kecenderungan Israel ini, Tuhan berirman melalui Musa: TUHAN, Allahmu, akan melimpahi engkau dengan kebaikan dalam segala pekerjaanmu, dalam buah kandunganmu, dalam hasil ternakmu dan dalam hasil bumi; TUHAN akan bergirang karena engkau dalam keberuntunganmu (Ul 30:9).

Ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan keberuntungan hidup datangnya dari Tuhan. Keuntungan hidup yang sesungguhnya ada di dalam Tuhan. Hidup yang berkemenangan hanya terjadi di bersama Tuhan. Di luar Tuhan bangsa Israel tidak dapat berbuat-apa-apa. Di luar Tuhan kita tidak akan mendapat apa-apa, selain kekecewaan dan kefanaan hidup. Di dalam Ul 30:10, dikatakan bahwa untuk memperoleh hidup yang beruntung itu Israel cukup memenuhi satu hal: yakni mereka mendengar suara Tuhan dan memelihara firman itu dengan segenap hati mereka. Karena ketika mereka memelihara firman Tuhan, maka sesungguhnya mereka sedang membiarkan diri dipimpin oleh kehendak dan rencana Tuhan. Dan, rencana Tuhan itu selalu adalah rancangan yang baik, rancangan damai sejahtera, dan bukan rancangan kecelakaan. Firman Tuhan itulah yang membwa Israel kepada penggenapan janji-janji Allah itu.

Ini berarti, dari sudut pandang iman, keberutungan hidup tidak datang dari angka cantik, dari nama yang bagus, atau dari bentuk dan posisi rumah kita. Mengatakan keberuntungan datang dari nomor, warna dan posisi rumah sama saja dengan membangun kembali konsep bangsa Israel yang mengira keberuntungan datang dari sebuah patung mati dan tak berdaya. Dan itu jelas pemberhalaan dan pemberontakan terhadap kehendak Allah dan firman-Nya.


Mengejar Keberuntungan Kekal

Mungkin ada yang bertanya skeptis: Saya sudah puluhan tahun menjadi orang Kristen, hidup setia, rajin beribadah, dagang tidak pernah curang, selalu jujur, harga tidak dilebih-lebihkan, tetapi kenapa hidup saya tetap susah. Kenapa hidup Saya tetap pas-pasan?

Keberuntungan itu ada dua macam. Keberuntungan semu dan keberuntungan kekal. Misalnya begini. Suatu ketika seorang pemuda pergi ke sebuah toko bunga untuk membeli bunga bagi kekasihnya. Sampai di toko bunga ia mulai berkeliling mencari bunga yang paling indah. Matanya berhenti di sebuah pot dengan tanaman bunga cantik di atasnya. Tanpa pikir panjang, si pemuda itu langsung menawar: “Pak bunga ini berapa?” “Kalo sama potnya 70 rb”, jawab si pedagang. “Nggak pak, saya beli bunganya aja” kata si pemuda. “Sayang dek. Ya udah bayar bunganya aja, pot dan pohonnya gratis”. “Nggak pak, bunganya aja, saya perlu bunganya”. Akhirnya si pemuda itu memaksa untuk membeli bunganya saja dan dengan senang dia pergi dan memberikannya kepada kekasihnya. Dua hari kemudian bunga itu telah menjadi layu.

Keberuntungan semu adalah keberuntungan yang bersifat sementara: keberuntungan yang dirasakan karena hal-hal yang nampak oleh mata. Ada yang melihatnya dalam wujud materi: omset dagang terus meningkat dan tidak pernah turun, sekali ikut tarohan bola langsung menang, dapat bonus mendadak, menemukan uang di tengah jalan ketika dompet sedang kosong. Ada juga yang melihatnya dalam wujud jabatan: terpilih promosi jabatan dari sekian banyak karyawan yang tidak terpilih, atau seseorang menawarkan pekerjaan ketika kita sedang pengangguran. Ada juga yang melihatnya dalam wujud kesempurnaan diri/fisik: Saya beruntung karena fisik saya lebih lengkap dibandingkan orang cacat. Saya beruntung karena lebih tampan/cantik dari orang lain. Saya lebih beruntung karena lebih tinggi, dll.

Benar semua itu adalah bentuk keberuntungan, yang kita peroleh dari Tuhan. Tetapi kita harus menyadari bahwa berkat Tuhan tidak hanya sebatas soal materi, jabatan dan penampilan fisik. Berkat Tuhan tidak boleh dibatasi pada hal-hal semu dan yang nampak semata. Tuhan tidak ingin kita hanya mencari bunga (yang indah dan enak saja), tetapi Dia ingin kita memiliki pohonnya. Tuhan mau kita memiliki sumbernya, sumber keberuntungan itu sendiri. Tuhan mau kita memelihara pohon keberuntungan itu, yaitu Firman Tuhan, yang membuat kita tidak hanya berbunga, tetapi juga berbuah di dalam kehidupan kita. Itulah keberuntungan kekal.


Bahagia Karena Melakukan Firman Tuhan

Dalam kisah Orang Samaria yang Baik Hati in kita lihat betapa keras Tuhan Yesus menegur orang-orang Yahuid, yang diwakili oleh iman dan lewi, yang hanya mencari bunga, yang hanya mencari keuntungan semu dalam wujud jabatan, status, kehormatan dan kekayaan, tetapi mengabaikan keberuntungan kekal. Mereka rajin beribadah dan mendapatkan upahnya dihargai. Mereka mengetahui firman Allah dan mendapatkan keuntungan dengan dihormati. Mereka beruntung dengan jabatan dan status tinggi karena menjadi pemimpin umat, tetapi mereka sendiri kehilangan sumber kehidupan sejati. Mereka tidak memelihara pohon keabadian. Mereka tidak memelihara firman Allah.

Sebaliknya dalam sosok Orang Samaria Yang Baik Hati, kita menemukan satu hal penting bagi hidup beriman kita. Kebahagiaan sejati tidak terletak di dalam jabatan dan kepura-puraan, kehormatan dan kemunafikan. Kebahagiaan sejati terletak pada hidup yang dikendalikan oleh kehendak Allah. Kebahagiaan sejati terletak pada orang yang hidup dan langkahnya diatur oleh Tuhan. Sukacita sejati didapat ketika kita mampu melakukan kehendak Tuhan seturut firman-Nya. Kebahagiaan orang Samaria itu terletak bukan karena akan mendapatkan imbalan atau balas budi dari orang yang ditolongnya itu, tetapi justru karena ia dapat melayani Tuhan dengan melayani sesama. Berbahagia karena masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan mengasihi sesama.

Tuhan Yesus menyebutnya memiliki kehidupan kekal, kebahagiaan kekal, keberuntungan kekal, karena ia memelihara Firman Tuhan. firman itulah yang menuntunnya untuk hidup penuh kasih, hidup penuh syukur, hidup berkemenangan, hidup yang tidak dikuasai oleh kesusahan hati, kekuatiran, kecurangan, dan iri hati akan hal-hal duniawi.


Penutup: Ilustrasi FU

Setiap Hari Raya Imlek tiba, salah satu pemandangan unik yang bisa diperhatikan dengan jelas ialah dekorasinya yang indah dan serba merah. Di antara pernak-pernik dekorasi itu, umumnya keluarga Tionghoa akan menempelkan karakter Mandarin (Fu) di pintu rumah mereka – yang berarti kebahagiaan/berkat. Kebanyakan orang tahu bahwa Fu ini berarti kebahagiaan, tetapi tidak mengetahui arti terdalam dari karakter FU ini. FU terdiri dari 3 kata:

http://www.bcs.org.sg/resources/coolmtrls/2.jpg = Tuhan + Satu Keluarga + Kebun/ladang = Kebahagiaan

Di sini kita pun belajar bahwa kebahagiaan dan berkat kita peroleh ketika kita hidup bersekutu dengan Tuhan. kebahagiaan kekal tidak ada di luar Tuhan. Kebahagiaan ada ketika kita memiliki hubungan intim dengan Tuhan. Kita diingatkan dengan kisah Adam dan Hawa di taman Eden. Kebahagiaan, keberuntungan dan hidup yang sempurna mereka nikmati ketika hidup bersekutu dengan Tuhan, dan selama mereka memelihara firman Tuhan. sebaliknya, malapetaka dan bencana akan melanda kita ketika kita melanggar dan memberontak terhadap titah Allah. Untuk itu kita mesti belajar selalu untuk terlebih dahulu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya (keberuntungan lainnya) akan ditambahkan kepada kita. Amin.

Wednesday, April 7, 2010

Mimbar dan Pendeta

Mimbar lazim juga diasosiasikan sebagai pelayan firman (dalam hal ini pendeta). Pernah mendengar orang berkata, “Jika yang di mimbar si A yang hadir 500 orang, tetapi jika si D hanya perpuluhan dari angka yang pertama”? Ini menunjukkan bahwa besaran dampak mimbar bagi jemaat ditentukan oleh wujud pribadi penggunanya. Mengapa? Sebab mimbar adalah wujud lain dari diri pendeta dan pemimpin jemaat.

Pertanyaannya, bagaimana supaya mimbar selalu digemari dan dibutuhkan? Bagaimana mempertahankan kerinduan jemaat untuk tetap interest mengunjungi dan diubahkan melalui mimbar? Tentu saudara tahu jawaban terbaiknya, yakni mempertahankan kekuatan penggunanya. Di dalamnya termasuk kekuatan iman, nilai dan teladan diri.


a. Kekuatan Iman

Seorang pendeta terkenal dengan imannya. Seorang binaragawan terkenal dengan kekuatan ototnya dan seorang ilmuwan dengan daya otaknya. Demikian pula keteguhan iman adalah milik pusaka hamba-hamba Tuhan.

Pasti terbersit di benak saudara untuk bertanya apakah ada pendeta yang bisa diragukan imannya. Jawabannya tergantung apakah saudara percaya atau tidak. Mircea Eliade, pemikir Kristen itu, rasanya benar ketika berkata bahwa manusia adalah makhluk yang suka memakai topeng. Rasanya terlalu banyak orang yang hidup munafik di dunia ini. Kekerasan hati dibungkus raut wajah yang lembut. Egoisme diri dibalut senyum yang dipaksa. Kebencian sedikit dikaburkan dengan keramahan sikap, dan keragu-raguan ditutupi ibadah yang kronologis semata. Dari banyaknya orang seperti itu, tidakkah saudara ragu diantaranya ada juga hamba-hamba Tuhan.

Saya tidak sedang memaksa saudara untuk mengakui itu ataupun menuduh nama tertentu. Tetapi saya mau katakan bahwa begitu banyak orang Kristen, termasuk pendeta sekalipun, yang masih meragukan imannya sendiri. Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadikan kemampuan diri sendiri sebagai pertahanan terakhir, bukan Tuhan. Mereka mengandalkan diri sendiri, memperjuangkan ideologi, selera dan kepentingan pribadi serta menumpuk kemuliaan bagi nama diri sendiri. Di sini iman menjadi sangat samar, kalau terlalu berat untuk mengatakannya telah sirna.

Padahal, seorang pendeta mestilah dikagumi karena keteguhan imannya. Ia beriman teguh, sehingga dipanggil untuk meneguhkan iman jemaat. Ia berpengharapan, sehingga bertugas menumbuhkan pengharapan orang lain. Ia percaya dan mempercayakan diri kepada Tuhan. Ia tidak akan memulai sebuah perdebatan yang mempertanyakan keberadaan pribadi Allah, ataupun pokok ketuhanan Yesus. Sebaliknya, ia bekerja keras siang malam untuk memperjumpakan siapapun dengan Tuhan, seperti yang ia sendiri sudah alami.

Ia beriman kepada kuasa, kasih dan kehadiran Allah. Ia percaya kepada pemeliharaan dan rancangn-rancangan indah Allah. Ia tidak takut hari esok ataupun meragukan jalan hidupnya. Dalam ketergantungan kepada Tuhan ia belajar mengorbankan selera, pandangan dan kepentingan diri, serta menjadi semakin taat kepada kehendak-Nya. Kekuatan iman inilah yang kelak menjadi dampak besar bagi pertumbuhan dan pembaruan hidup jemaat.


b. Kekuatan nilai

Iman rasanya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan pembentukan nilai-nilai diri, bagaikan turunan rumus untuk mencapai hidup yang berkemenangan. Iman selalu menghasilkan nilai-nilai hidup yang terdalam dan terpenting.

Sebagai contoh, iman kepada Kristus akan membimbing kita meraih kerendahan hati. Rendah hati ialah usaha menundukkan hati serendah-rendahnya di hadapan Tuhan dan sesama. Ini merupakan upaya memiliki hati seperti Kristus: ”...yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7). Menjadi hamba berarti mengosongkan diri dari semua keburukan hati yang menghalangi kita untuk mengasihi tanpa batas. Orang yang rendah hati tidak pernah meremehkan orang lain (Mat 7:3-5; Yoh 8:48), tetapi sangat respek terhadap siapapun. Menghargai mereka bukan karena sesuatu yang ingin kita dapatkan, melainkan karena ingin menempatkan mereka pada nilai yang sepatutnya. Sebaliknya, kesombongan dan tinggi hati adalah pelita orang fasik (Ams 21:4), karena menyebabkan dengki, fitnah dan tengkar.

Ketulusan adalah nilai besar lainnya bagi seorang pendeta. Pelayanannya bukanlah sesuatu yang terpaksa, direka-rekakan ataupun sekadarnya. Ia melayani dengan hati; segenap, sepenuh dan setulus hati. Jika tidak demikian ia sama saja dengan pedagang yang suka menipu pelanggannya dengan tawaran-tawaran yang menarik hati.

Tulus berarti melakukan segala pelayanan dengan totalitas dan kemurnian hati. Tulus tidak memuat ungkapan ’untuk diri sendiri’. Ia berbicara tanpa melebih-lebihkan dan memberi tanpa pamrih. Orang yang tulus menampilkan diri apa adanya tanpa berusaha terlihat suci. Ia benci kemunafikan dan kepalsuan. Sebaliknya, ia bekerja dengan keras, tanpa intrik mengharapkan imbalan atas usahanya.

Menurut Paulus, orang tulus selalu melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan demi manusia semata. Ia terpanggil untuk melayani, karena ia sendiri telah dilayani oleh-Nya. Jadi, perhitungannya bukan untung-rugi, tetapi balas jasa, atau lebih tepatnya bersyukur atas kasih dan penyelamatan Tuhan. Tanpa hati yang diwarnai ketulusan, kita tidak bisa membuat Allah terkesan, sekalipun melayani hingga sisa tanpa nyawa.


c. Kekuatan teladan

Maraknya kekerasan di jalanan, keluarga dan sekolah; perilaku korupsi, perusakan lingkungan, kurangnya tanggung jawab dan tenggang rasa, memunculkan gugatan tentang hal-hal apa saja yang diajarkan di dalam gereja. Barangkali satu masalah besarnya adalah berkurangnya “keteladanan” ketika proses penanaman nilai-nilai kehidupan berlangsung. Dalam percakapan terlalu sering muncul ungkapan nato alias no action talk only atau ‘omdo’ alias omong doang. Yang artinya, banyak pemimpin, guru, orang tua termasuk pendeta yang hanya pintar bicara dan debat, tetapi tidak untuk berbuat. Padahal kita tahu bahwa cara paling efektif menyampaikan pesan kepada siapapun adalah dengan menghidupkan apa yang disampaikan melalui keteladanan.

Kita sedang menyaksikan makin memudarnya keteladanan para pemimpin jemaat saat ini, sehingga anggota jemaat menjadi uring-uringan menghadiri dan menjalankan pelayanannya. Kita membutuhkan perubahan perilaku yang drastis. Sudah saatnya para pemimpin jemaat memberikan teladan yang baik kepada segenap anggotanya. Sadarlah bahwa “buah jatuh dekat dari pohonnya”, yang artinya betapa penting keteladanan dalam mentransformasikan nilai dari generasi ke generasi. Kita tentu tidak mau buah-buah kita membusuk dan terbuang percuma bukan? Jika demikian, pilihannya ialah menjadikan diri kita sebagai mimbar yang berdampak besar melalui iman, nilai dan teladan diri, agar semakin dekat dan berdampak bagi pertumbuhan hidup siapapun, bahkan apapun.

Mimbar dan Pemberitaan Firman

Manifestasi Allah di mimbar gereja terlebih berbobot melalui pelayanan firman. Firman yang kita dimaksud mencakup bagian Alkitab yang dibacakan dan dijabarkan, juga kebenaran yang Allah nyatakan sendiri di dalam hati umat yang dikenan-Nya. Tentu saja begitu, karena kita tidak dapat membatasi kebenaran Tuhan, apalagi hanya pada apa yang tertulis. Kebenaran Allah bertebaran di mana-mana dalam hidup manusia dan dinyatakan kepada siapapun yang dilayakkan untuk menerimanya.

Mimbar adalah ruang khusus Allah berbicara verbal kepada manusia. Ia berbicara melalui hamba-hamba-Nya. Di dalam pemberitaan firman itu Allah dan sejarah-Nya dengan konsisten dinyatakan. Kisah-kisah-Nya terus dibacakan. Perbuatan ajaib-Nya lagi-lagi diceritakan. Nasehat dan janji-janji-Nya tiada henti dikumandangkan. Tepat sekali, seperti pahlawan yang gagah perkasa dan penuh welas asih Ia terus dibicarakan dan dinantikan.

Tujuan pemberitaan firman itu tentu saja mulia. Melalui pemberitaan itu kisah Allah dapat dipahami dan perbuatan-Nya dialami. Nasehatnya memberi inspirasi dan janji-janji-Nya menghembuskan harapan baru bagi umat di sepanjang masa. Pemberitaan firman diharapkan akan sungguh mempertemukan umat dengan Tuhan, tidak saja dalam pemahaman yang benar, tetapi juga dalam pengalaman hidup yang terus segar. Firman Allah itu pada akhirnya harus membarui seluruh aspek hidup jemaat, sehingga tercapai tujuan puncak yang diharapkan Tuhan Yesus: ”Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku, seperti Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:20).

Akan tetapi, sebuah cerita, kisah atau kata-kata bijak tidak memberi dampak dengan sendirinya. Sebuah kisah di kepala akan menginspirasi jika dibahasakan dengan baik. Cerpen yang digemari selalu dikalimatkan dengan menarik. Kata-kata bijak akan maksimal sentuhannya jika dibawakan dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan banyak hal seperti cara, situasi, tujuan dan kebutuhan yang utama. Demikian pula dalam pewartaan firman Tuhan. Alkitab tidak akan berbicara dengan sendirinya di atas mimbar. Ia harus dibacakan, diperagakan dan dicontohkan agar dapat dipahami umat dengan benar dan mendalam. Dengan begitu, firman Tuhan akan semakin dekat dengan kehidupan jemaat. Inilah artinya mendorong mimbar mendekati kursi kehidupan jemaat.

Pasti pembaca bertanya: Bagaimana firman Tuhan itu dapat sampai kepada pendengarnya dengan utuh? Saya kira sebuah berita tidak dapat diterima secara utuh, karena keterbatasan si pemberita dan si pendengar. Akan tetapi kita dapat mengupayakan maksimalisasi dalam pemberitaan itu, agar sedapatnya tidak banyak yang hilang dari berita itu. Harapan terdalamnya, berita itu tidak hanya sampai tetapi juga mengubah hidup yang menerimanya. Untuk itu perhatikan baik-baik hal berikut ini:


a. Isi beritanya
Hal penting pertama yang harus dimengerti ialah soal isi beritanya. Yang diharapkan istri tentara dari sepucuk surat suaminya ialah berita lengkap tentangnya di medan perang. Kerinduan pasangan yang lama berpisah ialah mengetahui berita sepenuhnya tentang kekasihnya; yakni keadaan, pengalaman dan tentu saja isi hatinya yang terdalam. Demikian pula dalam pemberitaan firman, kita harus mengerti maksud terdalam jemaat datang beribadah di gereja kita.

Pahamilah bahwa kerinduan terbesar jemaat ialah bertemu dengan Tuhan. Harapan mereka ialah melihat Tuhan dan Tuhan melihat diri mereka. Oleh karena itu, dalam pemberitaan firman, Allahlah yang harus menjadi isi intinya. Seorang tukang pos tidak boleh menahan surat di tangannya dan menggantinya dengan kisah hidupnya sendiri. Seorang penginjil pun tidak boleh menggantikan firman Allah dengan kisah hidupnya sendiri. Juga tidak dengan kisah orang lain. Yang ingin didengar jemaat bukanlah ocehan kosong biografi si pengkhotbah ataupun kalimat-kalimat karangan tokoh lain. Itu hanyalah kerupuk dalam menu nasi goreng. Pelengkap semata.

Ketika Tuhan tidak lagi menjadi isi dalam khotbah, perhatikanlah betapa bersarnya masalah yang muncul. Akan terlalu banyak orang yang menyepelekannya. Begitu banyak orang yang mengalihkan perhatian dengan mengetik SMS, menerima panggilan telepon, mengobrol, bersenda gurau, meninggalkan ruang ibadah, tidur, dan sebagainya. Mereka memperlakukan khotbah seperti menonton film di bioskop, terserah disimak atau tidak. Itu terjadi karena mereka tidak bertemu dengan Tuhan sumber hidup mereka. Akibatnya, mereka tidak bertumbuh maju dalam iman, karakter dan nilai-nilai hidup.

Kesalahan terbesar rasanya bukan pada orang yang menyimak, sekalipun ada juga yang keterlaluan. Yang bertanggung jawab ialah pada pihak yang menyampaikan, yang kerap melupakan Tuhan di dalam khotbah mereka. Khotbah masa kini terlalu banyak dikuasai oleh hal-hal fenomenal yang dangkal, mitos-mitos kuno, lelucon yang tidak nyambung, kesaksian yang sangat egosentris dan pesan-pesan personal yang tidak mendarat. Akibatnya Tuhan menjadi hilang dan tidak dijumpai orang mereka yang datang dengan kerinduan besar.

Oleh karena itu, inti berita sebuah khotbah ialah Kristus, Allah yang menyatakan diri dalam pribadi insani. Khotbah harus memuat kisah, kasih, karya dan komitmen pemeliharaan Allah di dalam Yesus yang terus-menerus mengalir. Jika mencontek para pembelajar, maka kalimat tegasnya ialah khotbah itu harus kristosentris. Jemaat harus menemui Yesus di dalam setiap khotbah, meliputi kasih-Nya yang tak terbatas, perjuangannya menyelamatkan dunia, janji dan kuasa pertolongan-Nya dalam pergumulan hidup manusia. Itu yang menghibur, memotivasi dan membaharui hidup jemaat. Itu yang selalu rindu mereka dengar.


b. Metode Pemberitaan
Terus terang saja bahwa berkhotbah itu sama dengan siaran di radio. Keduanya merupakan proses penyampaian berita. Ada si pembawa berita, pesan, dan juga orang yang menerimanya. Perbedaannya tentu saja hanya soal jarak antara si pemberita dan si penerima.

Seperti dalam berkhotbah, siaran radio juga memiliki banyak kendala yang membuat berita tidak sampai kepada penerima yang dimaksud. Selain jarak, teknologi, kondisi cuaca dan si penerima, salah satu penentu keberhasilan pengiriman pesan ada pada pihak si pengirim. Yang sedang kita bicarakan adalah kreativitas teknis si penyiar, yang juga merupakan pergumulan besar bagi banyak sekali pengkhotbah.

Banyak pengkhotbah sering berkata begini:
- Ide sih banyak, tapi gimana ngungkapinnya yach?
- Kok, khotbah tulisanku lebih bagus daripada khotbah di mimbar yach?
- Aduh, nggak puas nih dengan khotbah tadi.
- Jemaat bisa nangkap nggak yach khotbah-khotbahku?
- Gaya orang itu berkhotbah lebih bagus dibanding Saya.

Pergumulan di atas bicara soal cara teknis pemberitaan. Orang yang mengabaikan pentingnya metode berarti sedang membiarkan usahanya memperoleh skor minimal. Jika pesan itu begitu penting, segala hal akan kita lakukan bukan? Itu yang saya maksud di dalam berkhotbah ini. Untuk membuat jemaat mengerti Kebenaran Firman Tuhan, kita harus melakukan segala sesuatu. Kita harus belajar seperti di sebuah ruang Teater: melompat, berteriak, menangis, berdiam diri, tertawa, berjalan, atau marah jika perlu. Tidak lagi cukup hanya dengan sebuah kisah dan umpama. Kita harus berani membawa batu, pohon, boneka, ember, kayu, buku, atau laptop jika perlu. Semua demi Firman Tuhan.

Jangan dulu mengernyitkan kening. Yang Saya maksud kita tidak sedang merendahkan firman Tuhan. Ini juga bukan usaha mempermainkan, meremehkan, menduniawikan atau mengkomersialisasikan kebenaran Tuhan. Tetapi kita harus berpikir keras bagaimana agar jemaat betul-betul mudeng dengan apa yang kita bicarakan tentang firman itu. Kita harus membuatnya mudah ditangkap, diolah dan dimengerti dalam hati. kita harus membuatnya seperti terpatri, melekat, membekas dan mengubah bagian yang rusak. Kita pun jangan lagi geli terhadap teknologi, dengan menolak mempelajarinya. Sebaliknya, sadarlah bahwa dunia yang tanpa tampilan teknologis sudah ditinggalkan penggemarnya, bahkan sejak puluhan tahun lalu.


c. Aktualitas Kebutuhan
Segala sesuatu harus relevan, sebab jika tidak sebaiknya dikubur saja. Memang demikian, bahwa yang tidak berguna selayaknya dibuang saja dari gudang kehidupan kita. Maksud saya, jangan sekali-kali mengkhotbahkan sesuatu yang tidak memiliki relevansi dengan kehidupan jemaat, agar kemudian tidak ditertawakan dan diabaikan. Jangan membuat firman Tuhan menjadi sia-sia, dengan tidak menyentuh kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan jemaat.

Di sini kita tidak sedang menyalahkan Alkitab yang sejauh ini tidak bisa dikurangi atau ditambah, tetapi kita harus lebih tajam melihat pertalian firman Allah dengan kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa tidak sembarangan Alkitab tertulis demikian, melainkan ada kehendak Allah di setiap bagiannya yang penting artinya bagi kehidupan jemaat.

Mengapa khotbah sering direspon “terlalu tinggi, kurang mendarat, mengawang-awang, sangat basa-basi, atau terlalu Alkitabiah”? Bisa saja bagian a dan b sudah terpenuhi, tetapi c tidak ada muatannya. Khotbah bisa sudah Alkitabiah dan komunikatif, bahkan atraktif, tetapi belum menjadi milik jemaat. Jemaat tidak merasa firman itu untuknya, karena tidak bertalian dengan kebutuhan terdalam di hatinya. Jika semua orang merasa demikian, berarti kita telah mencapai titik kegagalan serius. Kita gagal memahami keutamaan maksud firman Tuhan dan kedalaman isi hati jemaat.

Untuk menghindari kejadian buruk ini, diperlukan ketajaman mata dalam memahami persoalan-persoalan harian jemaat. Orang awam pun mengerti hal ini sehingga mereka selalu mendorong “rajin berkunjung, biar tahu masalah-masalah jemaat yang harus ditolong”. Interaksi yang tinggi dengan jemaat memang sangat menolong, baik bagi si pengkhotbah maupun bagi pendengarnya. Bagi pengkhotbah itu penting untuk mendaratkan khotbahnya di landasan yang tepat. Bagi pendengarnya, itu berarti menerima kiriman bantuan rohani yang tepat saat krisis bencana melanda kehidupan ini.

Mimbar dan Manifestasi Allah

Dengan keberanian besar kita dapat berkata bahwa mimbar adalah manifastasi sederhana kepribadian Allah. Mimbar itu istimewa karena Allah istimewa di dalamnya. Mimbar itu menjadi kudus karena Allah hadir membuatnya demikian. Mimbar itu pusat peribadahan karena disadari Allah turun dan berkuasa di situ.

Kalau kata-kata ini terlalu keras, mungkin kita sederhanakan dengan mengakui bahwa mimbar adalah simbol kehadiran Allah. Setiap kali kita menatap mimbar, kita seperti berjumpa dengan Allah. Kita seolah bertemu kekasih jiwa, di Taman Impian Jaya Asih. Kita penasaran dan menanti. Kita rindu bertemu dan disapa dengan hikmatnya. Ketika ia bersuara, kita terdiam. Kita mulai terpana, lalu tertunduk seketika. Dalam sekejap bisa saja kita disulapnya dengan senyuman. Lalu kita mulai tersentuh dan menjadi bahagia. Itulah yang bisa terjadi ketika Allah sudah hadir menemui kita melalui mimbarnya, baik dalam pemberitaan firman maupun pelayan-Nya.

Semua itu pengalaman terindah bukan? Siapapun pasti rindu merasakannya lagi.

Kalau kita bantah sedikit mungkin ada gunanya. Bukankah tidak semua mimbar terasa demikian? Benar. Memang benar. Ada juga mimbar yang kurang berkharisma sama sekali. Keanggunan kekasih berkurang akibat kejauhan tatapan mata. Dari jauh, senyum pun bahkan tersembunyi. Demikian pula dengan binar-binar mata, tidak terlihat. Untuk itu, kita perlu berdekatan. Baiknya bertatapan. Dengan demikian, masing-masing lebih merasakan indahnya keintiman perjumpaan. Ketika kita mendekat, lalu Allah pun melangkah maju, di situlah keintiman itu menjadi milik kita.

Oleh karena itu, mimbar yang adalah manifestasi Allah itu haruslah didorong sedemikian dekatnya dengan jemaat. Jangan menata mimbar jauh dari tempat duduk jemaat, atau bagaikan menonton sepakbola dari sudut terujung stadion pertandingan. Jemaat bukan penonton, yang tidak ada kaitannya dalam perjumpaan pertandingan. Mereka juga bukan ‘nyamuk’ dalam istilah berpacaran, sehingga dapat diabaikan. Mereka kekasih. Jadi tempatkan mereka sedekat mungkin dengan Allah. Dorong mimbar sedekat mungkin dengan mereka. Hindari penataan ruang mirip stadion pacuan kuda. Allah tidak berbahaya. Mimbar yang terlalu jauh akan membuat keterasingan. Mimbar yang terlalu tinggi, menggoda hilangnya konsentrasi. Mimbar yang terlalu kecil terasa raib kharismanya. Sebaliknya terlalu besar sulit melihat sudut fokusnya.
Sebagai strategi mendorong perubahan ini, sudahkah mimbar gereja kita mewakili kharisma Allah. Ia anggun sekalipun tidak mewah. Ia kaya sekalipun tiada hiasan. Ia kudus walau tidak mencolok. Tidak perlu besar yang menelan penunggangya. Jangan pula seadanya seperti tidak terurus sama sekali. Ia harus bersahaja. Ia harus bersahabat, seperti pemiliknya. Yang sangat penting juga, ia harus dekat. Seolah di tengah-tengah kita. Mudah ditatap. Terasa menyapa. Ramah. Dan, Ia menghadirkan kepribadian Allah. Demikianlah jemaat akan lebih belajar betapa Allah mengasihi dan selalu ada untuk umat-Nya.
Sabe Satta Bhavantu Shukitatta