Wednesday, March 18, 2009

Menyalibkan Manusia Lama

[Roma 6:1-11]

Beberapa waktu lalu ada tayangan di televisi yang mengupas rahasia hidup sekelompok relawan yang melayani orang-orang buta. Berbeda dengan bentuk pelayanan yang umum, para relawan ini memberikan salah satu biji mata mereka untuk didonorkan kepada orang-orang buta. Dengan berbuat demikian mereka berbagi penglihatan kepada orang-orang yang tidak pernah melihat rupa dunia ini, sehingga juga dapat menikmati keindahan semesta alam. Mereka berbagi cahaya kepada yang gelap, sehingga yang tidak punya asa kembali memiliki harapan akan hari esok yang lebih indah.

Wajar kita mengajukan pertanyaan, “Kok bisa? Bagaimana para relawan ini bisa sampai pada penghayatan hidup yang demikian?” Satu hal yang jelas ialah mereka hidup tidak lagi berorientasi pada diri sendiri. Mereka hidup untuk dan demi kehidupan orang lain. Dan, sudah barang tentu penghayatan hidup seperti ini didasari oleh pemaknaan teologis yang mendalam, yakni bagaimana Tuhan digeluti dalam iman yang mengubah hidup menjadi lebih berarti. Memakai istilah Paulus, hidup yang demikian ini adalah hidup manusia yang baru.

Istilah lama-baru, terang-gelap dan tua-muda adalah khas analogi Paulus, yang menggambarkan dua fase kerohanian manusia yang saling bertolakbelakang. Manusia lama diwakili oleh karakter kedagingan yang penuh dengan kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, perseteruan, iri hati, amarah, pementingan diri sendiri, kemabukan, dll (Gal 5:19-21). Sebaliknya, manusia baru diwakili oleh karakter manusia yang penuh dengan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal 5:22-23). Maksud Paulus, umat percaya perlu mengoreksi dan mengevaluasi dirinya masing-masing dengan mengamati roh-karakter apa yang menggerakkan kehidupan mereka. Jikalau iri hati, pementingan diri sendiri dan amarah masih menjadi tabiat orang percaya dan jikalau roh penyembahan berhala, roh perseteruan dan roh hawa nafsu masih menguasai mereka, sesungguhnya mereka harus dibaharui.

Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa (Rm 6:6). Dengan kalimat tersebut Paulus menegaskan bahwa pilihan orang percaya sesungguhnya tidak lebih daripada satu, yakni hidup sebagai manusia yang baharu. Di dalam Kristus tidak ada lagi manusia lama, sebab hidup kedagingan kita telah disalibkan bersama kematian Kristus. Sebab siapa telah mati di dalam Kristus, ia pun telah bebas dari dosa. Jadi, mengikut Kristus senada dengan meninggalkan tabiat lama yang penuh dosa. Jikalau dihayati dengan mendalam, baptisan adalah tanda pembaharuan itu.

Oleh karena itu:
Pandanglah hari ini, sebab kinilah realitas sesungguhnya
Kemarin hanyalah impian, esok hanyalah bayangan
Tetapi kini adalah kenyataan eksistensimu
Tabiat buruk mengelamkan masa lalu,
Demikian mengeruhkan masa kini
Terlebih menghilangkan masa depan
Tiada untungnya manusia lama itu
Jadi buatlah dia menjadi baru:
Kata bijak, hati tulus, laku elok, kaki lurus
Maka
Yang kemarin akan menjadi impian bahagia
Dan esok menjadi bayangan yang berpengharapan

Tuesday, March 17, 2009

Mengetahui Kehendak Allah

Mengetahui Kehendak Allah

Pengantar
Istilah kehendak Allah tampaknya sama sekali tidak lagi asing di telinga kita, amat sering terdengar di dalam doa ataupun dalam setiap bahasan firman Tuhan. Kerap mudah bagi kita untuk mengatakan sesuatu hal atau peristiwa sebagai kehendak Tuhan dan yang lain lawan dari kehendak-Nya. Bahkan, banyak orang mengatakan bahwa ia telah mengetahui dan sedang melakukan kehendak Allah dalam hidup mereka. Tetapi, tidak sedikit juga dari antara kita yang dahulu mengatakan melakukan kehendak Allah ternyata di kemudian hari kita sadari bahwa itu bukanlahlah kehendak Allah, melainkan kehendak diri kita sendiri. Dalam hal ini, kita sedang berusaha jujur kalau kita ternyata telah gagal memahami kehendak Allah.

Mengetahui kehendak Allah adalah hikmat yang tertinggi, karena kita sedang berusaha menggali dan memahami isi hati Allah. Usaha ini memang tidak semudah mengetahui kehendak manusia, karena faktor (1) transendensi Allah (jarak yang sangat jauh antara manusia dengan Allah), (2) komunikasi yang tidak memungkinkan untuk tatap muka (face to face), sehingga selalu bersifat satu arah saat kita berdoa atau mendengarkan pemberitaan firman, dan (3) sulitnya membedakan kehendak Allah antara dengan kehendak diri kita sendiri. Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat sampai pada hikmat yang tertinggi itu, hanya butuh kesediaan diri yang lebih.

Dua Jenis Kehendak Allah
Ulangan 29:29 menjelaskan bahwa ada dua jenis kehendak Allah, yaitu (1) kehendak Allah yang tersembunyi dan (2) kehendak Allah yang dibukakan. Kehendak Allah yang tersembunyi artinya kehendak yang hanya Allah sendiri saja yang mengetahuinya, tidak oleh manusia ataupun malaikat Allah sendiri. Contoh yang dapat disebutkan antara lain tentang kedatangan Kristus yang kedua kali dan hari akhir zaman. Sementara kehendak Allah yang dibukakan berarti kehendak Allah yang telah dinyatakan kepada manusia, seperti yang tertulis di dalam Alkitab ataupun yang dibukakan lewat pengalaman-pengalaman hidup beriman kita dengan-Nya.

Biasanya banyak orang mengejar dan ingin mendapatkan yang pertama. Manusia selalu berambisi ingin membongkar seluruh isi hati Allah. Akibatnya, banyak orang yang terang-terangan mengumumkan telah menemukan waktu hari kiamat, lengkap dengan tahun, bulan, hari dan jam terjadinya. Akhirnya, karena memang hanya Allah yang tahu, manusia gagal dan salah dengan prediksinya dan tidak sedikit yang berujung pada malapetaka massal suicide (bunuh diri masal). Padahal justru yang dibutuhkan oleh manusia dan yang dibukakan baginya justru yang kedua. Allah telah membukakan kehendak-Nya yang layak untuk diketahui manusia, sebagaimana telah ia nyatakan kepada Abraham, Nuh, Musa, samapi kepada kita di masa sekarang ini. Semuanya telah disaksikan dan ditulis di dalam Alkitab. Manusia hanya tinggal membaca, mendengar, mengerti dan melakukannya. Dengan demikian, melihat kehendak Allah menjadi sesuatu yang mungkin, bahkan lebih mudah. Hanya tinggal membaca firman, merenungkan, lalu melakukannya. Meskipun memang tidak semudah yang dapat dikatakan, Karena butuh ketekunan untuk menggal dan merenungkan seumur hidup kita.

Apa kehendak Allah bagi Manusia???
Alkitab sebenarnya menyebutkan sejumlah besar hal-hal yang dikehendaki Allah untuk diketahui dan diperbuat oleh umat-Nya. Contoh jelasnya seperti Allah yang meminta Nuh membuatkan bahtera, memanggil Abraham untuk mengembara menuju Tanah Terjanji, meminta Musa memimpin Israel keluar dari Mesir, memanggil Israel untuk beribadah kepada Allah, dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini, Saya hendak mengajak kita untuk mendalami kehendak Allah bagi kita berdasarkan firman Tuhan dalam Roma 12:1-2:

1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. 2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Pada bagian terakhir ayat kedua Paulus menegaskan “... manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”. Di sini Paulus menyebutkan karakteristik kehendak Allah sebagai sesuai yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Hanya Paulus tidak menyebutkan bentuk konkrit kehendak Allah itu sendiri. Namun demikian, kita dapat menelusurinya pada bagian lain tulisannya dalam 1 Timotius 2:3-4:

"Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran."

Di sini Paulus menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksudkannya dengan yang baik dan yang berkenan kepada Allah, yaitu (1) supaya semua orang diselamatkan dan (2) semua orang memperoleh pengetahuan akan kebenaran.

Memang amatlah benar bahwa kehendak Allah yang paling hakiki bagi manusia ialah supaya semua orang ciptaan-Nya dapat memperoleh keselamatan. Inilah keinginan terbesar Allah bagi manusia, agar jangan satupun ciptaan-Nya yang binasa sia-sia. Untuk mewujudkan kehendaknya itu Allah berulangkali telah mengingatkan umat-Nya di setiap tempat dan masa untuk bertobat. Ia juga melepaskan mereka dari berbagai jenis dan bentuk ancaman hidup yang membahayakan. Dan, yang paling menakjubkan, demi menyelamatkan manusia, Ia telah rela untuk turun ke dalam dunia, hidup bersama manusia, menderita dan mati untuk menebus manusia dari penjara dosa dan maut. Untuk itu, Allah meminta agar manusia memperoleh pengetahuan akan kebenaran itu. Manusia diminta untuk menyadari dan mendalami kebenaran itu, agar sungguh-sungguh mampu merespon kehendak Allah itu dengan iman yang teguh dan hidup yang kudus.

Lalu apa maksudnya yang sempurna? Saya teringat langsung dengan doa Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya, seperti yang tercatat dalam Yohanes 17:23: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.

Kesempurnaan yang dimaksudan Tuhan Yesus ialah kesempurnaan dalam hubungan. Allah di dalam Yesus menghendaki supaya murid-murid-Nya memiliki hubungan yang sangat intim dengan Allah. Hubungan yang intim ini diibaratkan hubungan harmonis antara anak dengan bapanya. Artinya, Allah menghendaki terciptanya relasi dan komunikasi yang harmonis antara manusia dengan Allah: “Aku menjadi Allah mereka dan mereka menjadi umat-Ku, Aku menjadi Bapa mereka dan mereka menjadi anak-anak-Ku”. Relasi dan komunikasi ini diwarnai dengan ketekunan beribadah, berdoa dan keterlibatan Allah di dalam setiap gerak dan langkah kehidupan kita. Demikianlah menurut Yesus kesempurnaan itu tercapai: Aku di dalam mereka dan mereka di dalam Aku sama seperti Aku di dalam Engkau dan Engkau di dalam Aku.

Kesempurnaan yang dimaksudkan Yesus juga termasuk kesempurnaan dalam mengasihi. Orang-orang yang termasuk bagian dalam diri kita tentu saja adalah orang-orang yang kita kasihi. Demikian pula sebaliknya, orang-orang yang kita kasihi telah menjadi bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah Allah meminta, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37, 39). Rasanya hidup beriman kita menjadi sangat lebih mudah setelah mengetahui kehendak Allah dalam hidup kita. Kita hanya tinggal mengimani dengan sungguh-sungguh bahwa Allah mau kita selamat dan menjadi satu dengan diri-Nya. Kita hanya tinggal menjalani hidup yang penuh kasih kepada Allah dan kepada sesama. Dan, kita hanya tinggal menjalani hidup yang layak dan kudus di hadapan Tuhan. Hanya itu. Cukup. Allah tidak minta macam-macam. Tidak meminta kita mesti cantik, tampan, kaya, berkuasa, jenius ataupun bertapa sampai mati. Ia hanya mengendaki supaya (1) kita selamat, (2) memperoleh pengetahuan akan kebenaran (3) menjadi satu dengan Allah, dan (4) hidup dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama. Hanya pertanyaan terakhir ialah: Bagaimana bisa mencapai semuanya ?

Mengetahui dan Hidup dalam Kehendak Allah
Tidak ada jalan pintas untuk mengetahui ataupun berjalan dalam kehendak Allah. Butuh waktu dan proses. Seperti seorang murid yang ingin mengetahui kehendak gurunya dan menjadi sama seperti dia, harus terlebih dahulu bersedia berproses dengan tekun sambil belajar dan berusaha. Demikian pula kita, harus bersedia berproses dengan tekun sambil terus belajar dan mengubah diri. Dalam Roma 12:1-2 tadi, Paulus memberikan langkah-langkah praktis agar kita mampu mengetahui kebenaran kehendak Allah dan hidup di dalamnya. Dengan memperhatikan setiap kata kerja dalam ayat itu, Paulus mengajarkan 3 langkah utama:

1. Parastesai, dari akar kata paristemi. Dalam Alkitab LAI diterjemahkan dengan mempersembahkan.’ Orang-orang yang ingin mengetahui kehendak Allah adalah orang-orang yang mempersembahkan hidupnya terlebih dahulu kepada Allah. Murid yang ingin mengetahui kehendak gurunya, mestilah memberikan seluruh hidupnya untuk itu: memberikan diri, waktu, tenaga, perhatian, bahkan segala hal yang dia miliki. Mempersembahkan diri menjadi syarat pertama untuk mengetahui kehendak Allah, yang menandakan kita siap untuk belajar, menerima dan merespon dengan sungguh-sungguh apa pun kehendak Allah yang dibukakan untuk bagi diri kita. Mempersembahkan diri adalah juga keputusan awal yang mesti kita buat, agar mampu berjalan dalam setiap kehendak Allah bagi diri kita. Jadi, dengan mempersembahkan diri, kita tidak saja dimampukan untuk mengetahui dan memahami, tetapi juga untuk menjalani dan menghidupi setiap kehendak Allah itu.

2. Suschematizo. diterjemahkan dengan ‘menjadi serupa’. Kata ini lebih cocok diterjemahkan ‘mencocokan diri’ dengan pola hidup zaman ini. Rasul Paulus menasehatkan jemaat di Roma untuk berhenti berusaha untuk terus-menerus mencocokan diri dengan pola zaman. Karena pola zaman ditandai dengan kecenderungan berbuat dosa yang begitu hebat. Ini adalah tahap kedua untuk mengerti kehendak Allah. Berhenti mengikuti keinginan ilah zaman ini dan tidak mengikuti pola hidup yang berdosa. Hal ini bukan berarti kita harus lari dan menghindar dari dunia ini, tetapi berhenti berbuat dosa dan melanggar kehendak Allah. Dunia suka dan gandrung melakukan dosa dan melanggar hukum-hukum Allah, itulah yang harus kita hindari, jauhi dan lawan, agar kita semakin dekat dengan Allah dan mampu mendengar serta memahami setiap suara kehendak-Nya.

3. Metamorphoo. Kata kerja ini diterjemahkan dengan ‘berubahlah’ atau bertransformasilah. Transformasi ini adalah pembaruan pikiran dan cara pandang kita; yaitu pembaharuan dari pikiran yang dikuasai oleh dosa dan kepentingan dunia, dari kebiasaan menghakimi, dari niat jahat dan akal bulus serta dari setiap perasaan-perasaan yang ditekan oleh dosa. Roh Kudus mengajar dan mengubahkan kita melalui firman yang kita gali dan renungkan. Karena, kata Paulus, setiap firman yang kit abaca dan renungkan bermanfaat “Untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebebnaran” (2 Tim 3:16). Jadi, bukan hanya berhenti mencocokan diri, kemudian lari dan menghindar dari kenyataan dunia yang berdosa ini, melainkan melihat pembaruan yang terjadi dan mengubah arah dari pola zaman yang berdosa ini, di bawa kembali kepada arah yang sejati, kepada Allah dan kehendak-Nya. Dengan beginilah kita dapat membedakan manakah kehendak Allah dan mana yang bukan: yaitu yang baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Penutup
Pada akhirnya, keputusan untuk menjalani hidup ini kembali Allah berikan kepada kita masing-masing. Apakah kita mau berjalan menurut kehendak Tuhan, ataukah kita akan berjalan menurut kehendak kita sendiri, ataukah kita akan berjalan menurut pola hidup dunia ini, kita sendirilah yang menentukannya. Hanya, bagi murid Kristus dan Anak Allah yang mahatinggi, pilihan satu-satunya ialah berjalan menurut kehendak Allah. Akhirnya, sangat menarik mengamati dengan saksama apa yang pernah dikatakan oleh Billy Graham mengenai usaha mengetahui kehendak Allah. Berikut ia katakan: "Mengetahui kehendak Allah adalah hikmat yang tertinggi. Hidup di dalam pusat kehendak Allah akan memastikan ketulusan pelayanan kita kepada Allah. Anda akan banyak mengalami banyak kesulitan bila berada di luar kehendak-Nya, tetapi hati Anda akan penuh sejahtera walaupun berkekurangan asalkan Anda ada dalam kehendak Allah. Anda tenang sejahtera, walaupun ada di dalam kesulitan atau aniaya, selama Anda ada dalam kehendak Allah. Alkitab menyatakan bahwa Allah memiliki rencana untuk setiap kita dan akan memimpin kita menggenapi rencana tersebut, asal kita tetap bersekutu dengan Dia."

Friday, March 13, 2009

Salib Adalah Kekuatan Allah

Kel. 20:1-17; Mzm. 19; I Kor. 1:18-25; Yoh. 2:13-22

Pembukaan
Salib adalah keunikan orang Kristen. Yang tidak suka orang Kristen tentu tidak suka pada salib. Orang Kristen biasanya memakai atau meletakkan salib di rumah sebagai simbol Kristiani. Tentu saja itu baik, tetapi yang terpenting lagi adalah “Berita dari salib”.

Misalnya saudara berangkat dari Batu Aji menuju Panbil, mau belanja atau jalan-jalan. Sekarang saudara sudah di Tembesi, yang berjarak 3-4 menit kdari Panbil. Tiba-tiba teman di samping kursi saudara bertanya kepada saudara, apa sih inti ajaran orang Kristen? Apa sih inti iman Kristen? Dalam waktu sekitar 3-4 menit untuk sampai ke tujuan, apakah yang akan Saudara jawab atau lakukan? Menurut saya jawabanya: Karena Kasih-Nya, Allah telah menjadi manusia untuk menebus manusia dengan jalan mati di atas kayu salib dan bangkit pada hari ketiga. Titik sentralnya ialah Allah. Pusat iman Kristen ialah Allah yang tersalib, demi menyelamatkan manusia dari kuasa iblis dan belenggu dosa.

Salib adalah Kebodohan bagi yang akan binasa
Jikalau Saya mengatakan bahwa mimbar ini sebagai meja, apa tanggapan Saudara? Mungkin Saudara mengatakan “Oon banget sih, udah jelas mimbar, ada micnya, ada salibnya, ada kain liturgisnya, masa masih dibilang meja?” Jika setelah Saudara mengatakan seperti itu, Saya tetap mengatakan ini meja, apa tanggapan Saudara? “Terserah elu dah. Emang gua pikiran. Oon banget sih??!”, mungkin ada yang berkata seperti itu. Sama halnya dengan pemberitaan tentang salib. Tidak semua orang dapat melihat salib sebagai simbol keselamatan. Tidak semua orang melihat salib dalam makna rohani, sebab banyak juga orang memakai salib justru hanya sebagai penanda: ini kuburan Kristen, yang ono aga laen; kalau masih ada orangnya berarti Katolik, yang kaga ada orangnya berarti Protestan. Demikian pula tidak semua orang memandang salib sebagai simbol yang mulia (gambaran kasih dan penebusan Allah), tetapi terlalu banyak juga yang memandangnya sebagai sebuah kebodohan.

Alasannya dikemukakan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Koristus: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah”. Apa latar belakang Paulus mengungkapkan kalimat ini? Alasannya ialah masih terlalu banyak orang (baik di luar jemaat maupun di dalam jemaat) yang memandang kematian di atas kayu salib sebagai sebuah kenistaan dan kebodohan. Yang dimaksud oleh Paulus ialah orang-orang Yahudi dan Yunani yang tidak percaya bahwa salib adalah jalan yang telah dijalani Allah untuk menyelamatkan manusia. Mengapa tidak percaya? Kata Paulus karena: “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat” (I Kor. 1:22).

Orang Yahudi terkenal dengan hukumnya dan tersohor sebagai ahli-ahli Taurat. Tetapi menurut mereka, dalam Hukum Taurat tidak pernah tercatat tentang Allah yang menjadi manusia, apalagi menderita. Tradisi mereka tidak mengajarkan bahwa Mesias itu lemah, miskin, apalagi mati di atas kayu salib. Yang mereka pahami dalam hukum Taurat ialah: “sebab seorang yang digantung, terkutuk oleh Allah" (Ul. 21:23). Yang disalib adalah orang-orang yang bersalah, terhukum dan terkutuk. Yesus pantas mati sebagai tersalib, karena ia telah mengacaukan kehidupan beragama dan berbangsa. Menurut mereka, Yesus mati tersalib sebagai terpidana, bukan untuk menanggung dosa orang lain.

Bagaimana dengan orang Yunani? Orang-orang Yunani terkenal dengan hikmatnya. Mereka adalah ahli-ahli Filsafat terkenal. Aristoteles, Galileo, Plato dan Socrates adalah filsuf kelahiran darah Yunani. Bagi orang Yunani hikmat (filsafat) adalah segala-galanya. Filsafat adalah pencarian pengetahuan tertinggi yang mampu membawa manusia keluar dari penderitaan dan kesengsaraan hidup. Hal ini bertolak belakang dengan salib, yang menggambarkan ketidakberdayaan. Lagipua, tidak satu pun dewa-dewa Yunani yang pernah menderita dan berkorban untuk menyelamatkan manusia, mereka malah digambarkan penuh kuasa, kuat, agung dan mulia.

Itulah sebabnya bagi orang Yahudi dan Yunani salib adalah suatu kenistaan, cela, ketidak-berdayaan dan kesia-sian belaka. Orang Yunani menolak Kristus karena keselamatan yang ditawarkan-Nya melalui salib sangatlah tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan hikmat manusia yang mengutamakan keagungan. Orang Yahudi menolak Kristus karena mereka tidak memperoleh tanda atau bukti di manapun bahwa Yesus adalah Mesias dan salib adalah jalan keselamatan. Ketika Tuhan Yesus membersihkan Bait Allah dari para pedagang dan penukar uang yang berjualan di pelataran Bait Allah, orang Yahudi sangat berang. Yang pertama mereka minta adalah: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?" (Yoh. 2:18). Mereka menuntut Tuhan Yesus untuk memberikan tanda bahwa Ia pantas berbuat itu.

Atas permintaan orang Farisi itu Yesus tidak memberikan muzijat apapun seperti yang mereka minta, sebab berpikir keajaiban yang selama ini dilakukan-Nya pun dianggap sebagai angina belaka. Sebab ketika hati manusia dikuasai kebencian, maka semua hal baik pada orang itu pun dinilai sebagai kekurangan. Ibaratnya: karena minyak setetes, najislah seluruh makanan. Yesus malah menantang mereka: “Rombak Bait Allah ini, dan Aku akan membangunnya kembali dalam tiga hari!” Ketika Yesus mengungkapkan itu, orang Yahudi pun langsung berang dan menilai Yesus sangat sombong, arogan dan tidak menghargai Bait Allah yang telah dibangun selama 40 thn.

Tetapi yang dimaksudkan Yesus ialah tubuh-Nya sendiri, yang memang akan dirombak dan ‘menghancurkan’ sebagai kurban penebusan, dan akan bangkit kembali pada hari yang ketiga Inilah artinya, salib Kristus adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan.

Salib: Kekuatan Allah yang menyelamatkan
Di atas salib bertemu Keadilan dan Belas kasihan Allah. Di atas salib bertemu tuntutan dan pengampunan. Di atas salib diterima kutuk dan berkat. Di atas salib bertemu kenistaan dan kemuliaan. Di atas salib terjadi ketidak-berdayaan sekaligus kemenangan. Di atas salib terjadi pendamaian. Di atas salib bertemu dosa manusia yang diampuni oleh pengurbanan Kristus.

1. Salib adalah kekuatan Cinta kasih Allah
Mahatma Gandhi sangat suka menyanyikan lagu KJ 169 “Memandang salib Rajaku”. Di salib itu tergambar jelas cinta Allah bagi manusia. Allah yang hadir untuk dunia. Allah yang mengosongkan diri, menderita dan bersedia mati untuk orang lain. Di salib itu adalah wujud solideritas Allah bagi orang yang menderita. Gandhi dan orang India bisa saja angkat senjata untuk melawan penjajah dan membunuh mereka. Demikian pula, Allah bisa saja angkat senjata untuk melawan dosa dan manusia berdosa. Tetapi karena cinta-Nya, Allah memilih jalan kasih, jalan pengurbanan, jalan salib. Itulah yang dikagumi dan ditiru oleh Gandhi, mencari jalan damai tanpa kekerasan dan melalui pengurbanan. Bagaimana dengan kita?

2. Salib adalah kekuatan Allah melawan dosa dan maut
I Petrus 2:24 berkata “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran”. Di sinilah kuasa salib Kristus bekerja: ketika kita menerima Kristus, kuasa salib bekerja dan dosa manusia, betapapun merahnya, akan menjadi putih seperti salju. Kuasa salib mengubah manusia dari jahat menjadi baik, dari berdosa menjadi tidak berdosa. Tidak hanya itu, tanpa salib tidak akan ada kebangkitan Kristus dan hidup baru. Demikian pula kita, tanpa melalui salib tidak ada kematian atas dosa dan kebangkitan dalam hidup yang baru.

3. Salib adalah Jalan Keselamatan bagi manusia
Semua orang yang percaya kepada pemberitaan salib baginya tersedia keselamatan. Iman kepada Kristus yang tersaliblah yang mampu menebus manusia dari dosa dan maut. Pada waktu Yesus disalib, dia dipukul, dicambuk sehingga menimbulkan banyak luka. Masing-masing luka mewakili tubuh kita yang jahat. Dan melalui bilur-bilur-Nya, kita disembuhkan dan diselamatkan.

Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku!
Salib adalah kekuatan Allah. Salib telah membuka mata hati para murid. Salib telah menebus dan menyelamatkan mereka dan kita. Karena salib juga para martir berani menerima kematian dengan sukacita. Karena salib gereja siap menderita aniaya dan tetap berjaya. Jika salib telah menjadi kekuatan bagi orang percaya dan gereja sepanjang masa, yang mengubah manusia dan dunia dengan cinta, bagaimana dengan kita? Maukah kita juga menjadikannya kekuatan untuk berubah dan mengubah dunia ini? Maukah kita memikul salib untuk berdamai dengan semua orang? Maukah kita menyalibkan ego, amarah dan kebencian kita? Lalu menyatakan siap mengikut Tuhan Yesus. Sebab itulah kata Yesus, “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku!”. Jikalau kita mau, kuasa salib akan bekerja di dalam diri kita. Berjuanglah. Amin.

Tuesday, March 10, 2009

HARAPAN DALAM DOA

Tuhan, dalam keberdosaan dan kelemahan diri,
kami masih terus berusaha untuk berubah.
Kami berjuang keluar dari Lumpur maut,
dan melangkah ke tanah perjanjian-Mu.
Kami mencoba menarik diri dari kegelapan,
dan belajar untuk hidup dalam terang-Mu.

Dalam pengenangan penderitaan-Mu,
kami belajar untuk merasa dan menghayati.
Kami berpuasa dan menahan diri,
mengekang ego dan mengurung niat jahat,
Kami berjuang mengendalikan hati,
agar jauh dari rencana licik;
Menguasai mata agar tidak diatur dosa.
Kami berusaha memperbaiki hidup.
Kami berniat untuk berubah
Dan membuka diri untuk Kaubentuk

Tuhan, tolong kami,

Engkaulah harapan kami.
Beri kami kekuatan dan jamahan kuasa-Mu.
Sempurnakan perjuangan kami;
perjuangan melawan dosa
dan kedirian kami yang jahat.
Mampukan kami untuk bertahan,
tetap memegang kata-kata-Mu.
Mampukan kami untuk bertahan,
tetap menatap kekudusan-Mu.
Mampukan kami untuk bertahan,
tetap menyadari pengurbanan-Mu.

Tuhan, Allah Bapa,

Engkaulah Harapan kami.
Hadirlah dalam diri kami,
Berkuasalah dan bentuk hidup kami,
Menjadi seperti yang Kauingini.
Ajar kami senantiasa mendengar suara Roh-Mu,
mengenali dan memahami nasehat-Mu.
Ajar kami untuk hidup dalam pertobatan
dan merajut kembali hidup menurut kehendak-Mu.

Tuhan, Engkaulah harapan kami,

ke dalam tanganmu
kami serahkan hidup kami,
Bentuklah dan sempurnakanlah.
Demi Kristus Tuhan kami. Amin

DOA PENGAKUAN DOSA

DOA PENGAKUAN DOSA

Ya Allah yang Mahakasih dan Mahakudus,
Saat ini, ya Allah,
kami memberanikan diri datang ke hadapan-Mu
mengaku segala dosa dan kesalahan
serta memohon pengampunan-Mu.


Ya Tuhan Allah, Bapa yang mahakuasa.
Kami berseru-seru memanggil nama-Mu,
karena kami sangat menderita oleh dosa
dan kejahatan kami sendiri.
Hati dan jiwa kami selalu gelisah
menyimpan rasa bersalah.
Kami hidup dalam ketakutan
sebab kami tidak berlaku benar.
Kami merasa lelah dan tegang
sebab kami tidak jujur.


Kami sering menyakiti hati Tuhan
dan sesama kami dengan kata atau perbuatan.
Kami gagal mengalahkan nafsu
dan keinginan jahat yang ada dalam diri kami.
Kadang kala kami membiarkan diri kami dipengaruhi
dan dikuasai oleh dendam, kemarahan dan kebencian.

Kami mengaku tidak hidup menurut contoh
dan teladan Yesus.
Kami mengaku kurang mensyukuri penderitaan
dan pengurbanan-Nya menebus
dan membebaskan kami dari dosa dan maut.
Kami tidak melakukan kasih dan kebenaran
yang telah diajarkan-Nya kepada kami.

Ya Roh Kudus, Penghibur orang yang berduka,
sembuhkanlah segala penyakit dan penderitaan
yang kami alami akibat dosa-dosa kami sendiri.
Tinggallah dalam hati kami
agar kami kembali bergembira dan penuh gairah
melakukan kehendak Tuhan Yesus Kristus.
Engkaulah sumber pengampunan kami, ya Tuhan,
janganlah lupakan kami.
Dengarlah doa permohonan kami ini ya Allah.
Demi Kristus Tuhan kami. Amin

MENJAWAB PANGGILAN TUHAN

Pengantar
Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata ‘panggilan’? Siapa yang pertama kali Anda bayangkan? Orang lain? Diri sendiri? Atau Tuhan? Bahasan ini sangat mendasar, kesadaran akan adanya panggilan dalam diri kita akan menggiring kita kepada suatu jalan hidup yang lain. Menyadari dengan tepat panggilan pribadi kita di hadapan Tuhan akan menentukan pola hidup, tujuan dan arah perjalanan hidup kita. Dalam bagian ini, sebagai kaum muda-mudi gereja, kita diharapkan mampu menyadari adanya panggilan Tuhan ini atas diri kita dan menjawabnya dengan kesungguhan hati demi kemuliaan nama Tuhan dan pertumbuhan iman bersama.

Pemuda dan Pelayanan Gereja
Setiap gereja yang didirikan Tuhan pasti terdiri atas pribadi-pribadi yang dipanggil oleh Tuhan. Tentu saja di dalamnya termasuk pemuda-pemuda gereja. Mereka dipanggil ke luar dari keduniawian dan masuk ke dalam Kristus. Sebagai contoh, Paulus mengatakan bahwa seluruh anggota jemaat di Roma dan Korintus juga dipanggil oleh Kristus dalam pelayanan-Nya (Roma 1:6; 1 Korintus 7:22). Ini adalah pelayanan yang harus dilakukan setiap orang Kristen.

Pemuda adalah orang-orang yang energik, kreatif dan penuh semangat dalam melakukan perubahan. Kita bisa membayangkan betapa kurang lengkapnya gereja tanpa kehadiran dan partisipasi pemuda-pemudi. Tidak dapat disangkal bahwa dinamika sebuah gereja akan jauh lebih hidup dengan kehadiran dan keaktifan pemuda-pemudanya. Gereja-gereja di Barat sekarang ini banyak yang menjadi museum-museum bisu, yang tidak memiliki masa depan, karena nihil pemuda-pemuda penerus perkembangannya.

Dengan demikian, benarlah bunyi semboyan nasional bahwa “Pemuda adalah tulang punggung bangsa”, yang menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi dan fungsi yang sangat sentral dalam kehidupan berbangsa. Demikian pula hidup bergereja. Pemuda adalah tulang punggung gereja. “Tulang punggung” di sini menggambarkan perannya sebagai penegak, penyokong, penopang berdirinya gereja di tengah-tengah dunia. Kalau pemudanya loyo, maka layulah hidup bergereja. Namun, kita harus mengingat bahwa kepalanya tetaplah Kristus sendiri, yang mendirikan dan menumbuhkan gereja itu sendiri.

Setiap Orang Memiliki Panggilan?
Paulus dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang memiliki panggilan dalam dirinya masing-masing. Pada intinya, Tuhan memanggil kita untuk melakukan dua hal besar dalam hidup ini:




  1. Dipanggil untuk mengikut Tuhan dengan setia. Panggilan Yesus pertama-tama kepada para murid adalah “Mari, ikutlah Aku” (Mat 4:19; 8:12; 9:9; 19:21). Dia tidak berkata, “Belajar dululah, setelah pitar, setelah ahli, setelah banyak keterampilan, baru setelah ikutlah Aku”. Allah telah mengasihi kamu dengan segenap hati dan hidup-Nya, sekarang kita diminta untuk mengasihi dengan segenap hati dan hidup kita. Kata Yesus: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat 22:37)

  2. Dipanggil untuk melayani. Orang-orang yang mengasihi Tuhan selalu terpanggil untuk melayani Tuhan dan gerejanya. Seperti yang dikatakan rasul Paulus bahwa setiap orang dipanggil oleh Kristus dalam pelayanan-Nya. “Kamu juga termasuk di antara mereka, kamu yang telah dipanggil menjadi milik Kristus” (Ef. 1:6). Tidak seorang pun bisa berdalih bahwa ia tidak dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan. Semua anak Tuhan adalah pelayan Tuhan.
Apa Istimewanya Panggilan itu?
Panggilan untuk mengikut dan melayani Tuhan adalah panggilan yang istimewa. Istimewa karena pertama, panggilan itu datangnya bukan karena manusia, dan juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah. Paulus meyakini bahwa panggilannya sebagai seorang Rasul, utusan dan pelayan Kristus, bukan datang dari dan oleh manusia, melainkan oleh sebab Kristus sendiri yang menghendakinya. Katanya, “Dari Paulus, seorang rasul, bukan karena manusia…” (Galatia 1:1). Ini menunjukkan asalnya atau datangnya panggilan itu bukan dari manusia. Bukan manusia yang menetapkan kita menjadi pelayan-Nya. Bukan manusia yang menetapkan Paulus menjadi Rasul-Nya. Juga bukan dirinya sendiri atau rasul-rasul lain atau orang Kristen lain yang menetapkan dirinya menjadi rasul. Melainkan semata karena Allah yang menetapkan-Nya, karena Allahlah yang memanggilnya dan meneguhkannya.


Kedua, Paulus mengatakan bahwa pelayanan ini bukan demi dan untuk manusia, melainkan semata demi kemuliaan Allah. Pelayanan ini ekspresi iman kita pribadi kepada Allah, atas keselamatan yang telah diberikan-Nya kepada kita di dalam Kristus Yesus. “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Efesus 2:8-9). Dengan demikian jelas bahwa panggilan pelayanan adalah wujud respon kita kepada karya keselamatan Allah dan demi kemuliaan Allah, bukan demi atau untuk manusia.

Mungkin cara Tuhan memanggil kita tidak seperti cara Tuhan memanggil Paulus. Kita dipanggil memang bukan dengan cahaya yang terang benderang, angin taufan ataupun di tengah-tengah gempa bumi yang dahsyat. Namun ketika kita dinyatakan sebagai umat yang ditebus, pada saat yang sama kita menyatakan diri sebagai pengikut dan pelayan Allah. Panggilan itu kemudian dapat terus diteguhkan lewat bisikan Roh Kudus ataupun lewat peristiwa-peristiwa nyata hidup kita. Bisikan Roh Kudus untuk mengikut dan melayani dengan setia ini mempunyai daya penakluk yang tidak bisa dibantah, karena ke mana pun kita pergi, bisikan ini akan terus mengikuti, sampai kita benar-benar taat.

Realitas yang biasa ditemukan
Banyak orang Kristen berpikir bahwa panggilan untuk melayani Tuhan hanya berlaku bagi mereka yang melayani "full-time", yaitu para pendeta dan para penatua. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen awam, banyak yang berpendapat bahwa diri tidak perlu bergumul memikirkan apakah dirinya memiliki panggilan Tuhan atau tidak. Akibatnya, seringkali manusia memakai alasan tertentu untuk menolak menjalankan panggilan Tuhan dalam tugas yang akan dipercayakan kepadanya oleh Tuhan. Alasan ini berangkat dari beragam pokok:
  1. Dirinya dipakai sebagai alasan penolakan. Siapakah aku ini, masih muda, nggak pandai bicara, nggak pandai, nggak berani, nggak ada pengalaman, masih gatek soal struktur gereja, masih gagap soal alkitab, masih sibuk kerja, belum mapan, dsb. Tetapi Firman Tuhan berkata, “Ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti"

  2. Lingkungan yang akan dituju, sebagai alasan penolakan. Seperti Musa, awalnya berkata kepada Tuhan: “Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan tidak mendengarkan perkataanku?" Namun alasan ini TUHAN patahkan dengan Jawaban-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau?”

  3. TUHAN disalahkan, karena menciptakan kita dengan segala kekurangan kita. "Kenapa Engkau membuat aku tidak pandai bicara, tidak memiliki keberanian, Engkau membuat aku miskin, tidak berpengetahuan".
Kita harus ingat bahwa dalam memanggil orang-orang yang dipilih-Nya, Tuhan tidak menuntut orang yang bisa dan mampu, tetapi mencari orang-orang yang mau: mau belajar, mau taat, mau memberi waktu, mau melayani, mau dibentuk seturut kehendak-Nya. Dengan demikian, keberhasilan dalam menjalankan pelayanan bukan terletak pada siapa kita, atau sejauhmana kekuatan dan kepintaran kita, namun semuanya terletak kepada Penyertaan dan Kuasa Allah dalam pelayanan Kita. Terletak pada sejauh mana kita mau memberikan diri dipimpin oleh Tuhan.

Bagaimana Menjawab Panggilan Tuhan?
Untuk menjadi seorang pilot, kita harus belajar secara formal. Kita juga harus bersekolah untuk menjadi seorang arsitek, tetapi tidak ada pelatihan atau sekolah yang mengajarkan pada kita bagaimana caranya mengambil keputusan. Namun demikian ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam mengambil keputusan menjawam panggilan Tuhan:

  1. Keputusan yang benar tidak mesti dikaitkan dengan bagaimana orang lain melihat diri kita. Kecenderungan manusia dalam mengambil keputusan kerapkali ditentukan apa kata orang lain terhadap diri kita. Kita ingin agar orang melihat kita sesuai dengan citra diri mereka. Dalam menjawab panggilannya, Paulus tidak terlebih dahulu minta pendapat teman-temannya, saudaranya ataupun orang lain, karena jawaban itu sesungguhnya lahir dari imannya secara pribadi.
  2. Keputusan yang benar didasari sumber yang benar. Paulus bertemu dengan orang yang benar, yaitu Ananias, yang telah diutus Allah sebenarnya.
  3. Keputusan yang benar berpijak pada konsep kasih Allah. Menjawab panggilan itu harus didasari ras cinta kepada Allah, bukan semata-mata karena desakan orang lain ataupun kepentingan-kepentingan pribadi. Harus didasari niat yang baik dan tulus untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi Tuhan.
  4. Apapun keputusan yang kita ambil harus berdampak baik kepada lingkungan atau diri kita sendiri. Harus ada targetan yang ingin kita lakukan dalam menjawab panggilan Tuhan.
Di mana Saya Mulai Melayani?
Sesungguhnya Allah memanggil kita untuk melayani di mana saja kita ditempatkan. Memang ada banyak macam pelayanan yang bisa kita lakukan sebagai wujud jawaban panggilan kita pribadi. Namun Allah memanggil setiap orang untuk secara aktif ambil bagian dalam pelayanan-pelayanan gerejawi. Di gereja ada banyak lahan yang harus digarap, tetapi kurang penggarap dan penuai. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” ( Mat 9:37 – 38 )

Saat ini Tuhan memanggil pemuda-pemuda untuk melayani-Nya di tengah-tengah gereja-Nya. Gereja butuh pembaharu-pembaharu untuk pertumbuhan gereja. Siapkah Anda? Beranikah Anda seperti Yesaya menjawab panggilan Tuhan dengan berkata “Ini Aku, utuslah Aku”.

Friday, March 6, 2009

Yang Menyelamatkan Nyawa, Akan Kehilangan Nyawa

Kej. 17:1-7, 15-16; Rom. 4:13-25; Mzm. 22:23-32; Mark. 8:31-38

Naluri Menyelamatkan Nyawa
Naluri menyelamatkan nyawa merupakan anugerah Allah kepada setiap makhluk hidup, tidak saja manusia, tetapi juga binatang dan semua jenis tanaman. Saat menghadapi suatu bahaya, kita akan segera refleks untuk melindungi dan menyelamatkan diri, dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan yang ada. Biasanya, jika tidak mampu melawan, maka pilihannya ialah berlari sekencang-kencangnya atau bersembunyi berbulan-bulan. Jika mampu, kita akan melakukan perlawanan yang sengit, kalau perlu mengeluarkan senjata pamungkas. Yang pasti, sedapat mungkin kita harus menghindari kecelakaan.

Jika naluri menyelamatkan diri merupakan karunia dari Tuhan agar setiap orang dapat tetap hidup, mengapa Tuhan Yesus justru berkata: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya”? (Mark. 8:35).

Konteks Kekinian
Suatu ketika sepasang pemuda melintasi hutan berbahaya dan bertemu dengan seekor beruang besar. Seorang pemuda yang pertama kali melihat beruang itu, tanpa memberitahu temannya, segera berlari dan memanjat pohon setinggi mungkin. Sementara pria kedua tidak lagi dapat mengelak dengan berlari, sehingga yang ada di benaknya hanyalah pura-pura mati. Selalu ada cara untuk menyelamatkan diri. Segera pemuda itu menjatuhkan diri dan menahan nafas, pura-pura mati. Beruang itu kemudian mengendus tubuh dan kepala laki-laki itu. Ajaib. Beruang itu tidak mencelakainya, malah meninggalkannya pergi. Ternyata beruang tidak suka jenis makanan yang telah mati.

Setelah turun dari pohon pria pertama itu bertanya kepada kawannya, “Apa yang dibisikkan beruang tadi kepadamu?” Jawab kawannya itu, “Dia bilang, lain kali jangan berkawan dengan orang yang hanya menyelamatkan diri sendiri? Mereka itu nggak setia”

Cerita ini mau mengatakan bahwa dalam upaya menyelamatkan diri sendiri, tidak jarang manusia tega mengorbankan orang lain. Atau dengan kata lain, manusia cenderung egois, hanya mau menyelamatkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain. Kalau kita amati peristiwa dalam tayangan tadi, serta tindakan-tindakan terorisme manapun, dapat dipahami bahwa itu adalah sebentuk upaya pembelaan dan pertahanan diri orang-orang yang merasa terancam. Terancam secara ideologi, teknologi, sosiologi ataupun teologi, maka apapun caranya dapat dinilai halal demi mempertahankan nyawa sendiri/kepentingan sendiri, sekalipun mengorbankan orang lain.

Kecenderungan Menyelamatkan nyawa Sendiri
Inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus “Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya”. Nyawa dalam konteks ini menunjuk pada keseluruhan diri manusia, hakikatnya sebagai pribadi. Ini berarti, orang yang hanya mementingkan keseluruhan dirinya, kepentingan pribadinya, justru akan kehilangan nyawanya di hadapan Tuhan, kehilangan nilainya di hadapan Allah, sebab dalam diri mereka tidak ada kasih akan Allah, melainkan kasih diri sendiri.

Kata-kata ini disampaikan Yesus kepada para murid, karena ia menyadari bahwa para murid juga masih dikuasai roh egosentrisme. Setiap murid memiliki kepentingan tersendiri mengikut Tuhan Yesus: Thomas ingin jadi filsuf terkenal, Matius pemungut cukai ingin ganti pekerjaan yang lebih layak, Petrus ingin jadi murid nomor satu, Yudas ingin menjadi pengusaha kaya, Yakobus dan Yohanes, seperti yang lain, kelak ingin duduk di sebelah kanan dan kiri singgasana kerajaan. Itulah sebabnya, ketika Tuhan Yesus mengungkapkan jalan derita yang harus dihadapinya, para murid tersentak kaget. Pernyataan Yesus terang saja membuyarkan harapan yang ada di benak para murid, karena semua meletakkan masa depan mereka di atas pundak Tuhan Yesus. Itulah sebabnya Petrus menegur Yesus bahwa sekali-kali itu tidak akan terjadi.

Tidak jarang kita pun mengikut Tuhan Yesus karena alasan untuk mendapatkan sesuatu bagi diri kita sendiri, entah itu berupa kesenangan emosional, kesembuhan yang ajaib, kesejahteraan diri dan bahkan untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Di sini Yesus menegaskan bahwa siapapun yang mengikut Yesus demi kepentingan diri sendiri, justru akan kehilangan nyawanya, sebab mereka tidak akan menemukan kekayaan, jabatan, perusahaan besar, ataupun penghormatan dengan mengikut Yesus. Sebaliknya mereka akan menerima penolakan, fitnah dan rancangan jahat dari musuh, seperti yang dialami sendiri oleh Yesus: menanggung banyak penderitaan, ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit kembali sesudan tiga hari. Inilah beratnya menjadi rang Kristen: meninggalkan Yesus berarti kehilangan nyawa, mengikut Yesus juga akan kehilangan nyawa.


Totalitas Mengikut Tuhan: Menyangkal diri
Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia, harus mengikut dengan segala totalitas dirinya. Mengikut dengan totalitas diri ini pertama-tama diwujudkan dengan penyangkalan diri. Menyangkal diri di sini berarti secara bersengaja menolak untuk bersikap serakah, tidak haus kekuasaan, mampu mengendalikan hawa-nafsu, mencukupkan diri dengan berkat yang dimiliki dan mengutamakan kehendak Allah di atas segala-galanya.

Orang yang menyangkal diri berarti mengikuti Yesus yang berdoa di Taman Getsemani, “Jangan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Orang yang menyangkal diri bearti orang yang mau belajar seperti Abraham, yang senantiasa setia menanti janji-janji Allah. Sekalipun belum melihat penggenapan janji Allah pada usia menjelang seratus tahun, namun sikap iman dan kesetiaannya tidak berubah. Abraham tetap percaya, walau dia sering dipenuhi oleh berbagai pergumulan dan ketidakpastian, rasa kuatir dan bimbang. Rasul Paulus menyatakan: “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah” (Rom. 4:19-20). Bagaimana bisa? Karena orientasi Abraham senantiasa kepada kehendak Allah, bukan kepada kehendak diri sendiri.

Totalitas Mengikut Tuhan: Memikul Salib
Kedua, mengikut Tuhan dengan totalitas diri digambarkan dengan kesediaan memikul salib. Seorang murid juga harus bersedia menerima penderitan dan penolakan dunia. Ada banya penderitaan yang akan dihadapi oleh murid yang setia: perjuangan melawan dosa, ejekan dan kebencian dunia, pergumulan melawan iblis, celaan karena berbuat benar, memberitakan Injil tanpa henti, dan sebagainya.

Aplikasi Bagi Kita
Bagaimana dengan kita? Ahli Teologi Stephen R. Covey mengungkapkan ada tujuh dosa besar yang mendatangkan maut bagi manusia: (1) kekayaan tanpa usaha, (2) kesenangan tanpa nurani, (3) pengetahuan tanpa karakter, (4) bisnis tanpa moralitas, (5) sains tanpa nilai kemanusiaan, (6) agama tanpa pengorbanan, (7) politik tanpa prinsip keadilan.

Saudara, mana di antaranya yang dekat dengan kita? Ketujuh dosa maut ini sebenarnya bermuara pada satu hal saja, yaitu egosentrisme: orang hidup untuk dirinya sendiri, demi kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Saudara, kita dipanggil untuk mengikut Tuhan dengan segala totalitas diri kita. Itu berarti kita dipanggil untuk setia, mencari kekayaan dengan usaha, menikmati kesenangan dalam solideritas, pengetahuan dengan karakter, bisnis dengan moralitas, sains dengan nilai kemanusiaan, agama dengan pengorbanan, dan politik dengan prinsip keadilan.

Tuesday, March 3, 2009

Berjalan Di Dalam Kebenaran Tuhan

Kej 9:8-17 ; Mrk 1:9-15

Pengantar
Teolog Stephen R. Covey, mengadaptasi pandangan Mahatma Gandhi, mengungkapkan bahwa ada tujuh dosa maut yang merusak tatanan masyarakat saat ini: (1) kekayaan tanpa usaha, (2) kesenangan tanpa nurani, (3) pengetahuan tanpa karakter, (4) bisnis tanpa moralitas, (5) sains tanpa nilai kemanusiaan, (6) agama tanpa pengorbanan, (7) politik tanpa prinsip keadilan.

Mana di antaranya yang dekat dengan kita? Ketujuh dosa maut ini sebenarnya bermuara pada satu hal saja, yaitu ketiadaan kebenaran. Kita bisa mengamati itu, bagaimana tanpa nilai kebenaran bisnis dijalankan dengan cara-cara yang curang, tidak jujur, ilegal; tanpa nilai kebenaran pengetahuan menjadi bahaya besar dengan ancaman perang nuklir, terorisme dengan senjata canggih, tayangan media yang tidak mendidik; tanpa kebenaran politik menjadi ajang pertengkaran dan perebutan kekuasaan semata; tanpa kebenaran agama menjadi kendaraan untuk melegalkan kekerasan, dsb. Singkatnya tanpa kebenaran, kata Thomas Hobbes (antropolog Kristen): Homo Homini Lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Manusia hidup demi dirinya sendiri, demi keuntungannya sendiri dan tega menyakiti orang lain demi keuntungan pribadi.

Konteks Pergumulan Manusia
Saya membayangkan bahwa kondisi seperti inilah yang ditemui Allah ketika ia menilik kehidupan masyarakat zaman Nuh. Dalam Kej 6:11-12 kita baca di sana, “Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah telah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.” Gambaran ini mirip dengan apa yang Allah temui di Kota Sodom dan Gomora. Manusia hidup dengan sifat yang sudah bobrok, mencari kesenangan dan kepentingan diri sendiri, memelihara kecemaran dan menjadi serigala bagi sesamanya. Sampe jeruk makan jeruk.


Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan tragis di Cina, yang menewaskan belasan orang penumpang termasuk seorang wanita cantik yang adalah sopir bis tersebut. Apa sebabnya? Kejadian ini berawal ketika 3 preman yang menggoda dan melecehkan sopir wanita tadi. Sementara itu penumpang tidak sedikit pun peduli atau berusaha membantu. Hati nurani mereka seakan tertutup rapat untuk membela kebenaran. Kecuali seorang pria yang berani berkelahi dengan preman-preman itu, sekalipun ia akhirnya babak belur dihajar ketiga preman itu.


Tentu saja kita merasa bahwa jika dibiarkan situasi ini akan semakin kacau dan merusak. Orang berlaku sesuka hati, seenak jidat dan tidak peduli pada nilai-nilai ilahi. Kondisi ini jugalah yang mendorong Tuhan untuk membersihkan bumi ini dari orang-orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri, kesenangan dan kepentingannya sendiri.


Sakit hati dengan sikap penumpang lain yang cuek, tiba-tiba si sopir wanita berteriak mengusir pria yang membelanya,lalu memaksanya turun. Pria itu pun terpaksa turun setelah diancam. Sopir tersebut kemudian mengemudikan bis dengan kecepatan sangat tinggi dan di tengah jalan ia menghempaskan bis itu ke jurang curam hingga menewaskan seluruh penumpangnya. Keesokan harinya berbagai media mengabarkan kecelakaan tragis itu. Dan pria tadi menyadari bahwa sebenarnya ia diselamatkan oleh sopir tadi karena keberaniannya membela kebenaran.

Maksud Baik Allah Dalam Peristiwa Nuh
Sepintas mungkin kita melihat wajah Allah yang marah, dendam dan sadis dalam kisah ini? Akan tetapi, kita harus kritis bertanya, benarkah semua ini terjadi semata karena amarah dan murka Allah? Istilah yang tepat untuk menjelaskan perbuatan Allah ini ialah tindakan pemurnian. Allah memurnikan bumi dan segala isinya. Allah hendak membuat kembali bumi ini baik adanya dengan dihuni oleh orang-orang baik yang mengenal-Nya. Seperti emas yang dimurnikan, dia dipisahkan dari materi-materi yang tidak berguna. Seperti pohon yang dibersihkan, dia dipisahkan dari benalu-benalu yang merusak. Seperti beras yang ditampi, yang dipisahkan dari benih-benih yang kosong. Demikian pula Allah memurnikan dunia ini dengan memisahkan orang-orang yang berjalan dalam kebenaran-Nya dengan orang-orang murtad, yang tidak lagi mau mendengar dan menaati suara-Nya


Tujuan baik Allah sangat jelas. Setelah semua itu terjadi, Allah mengadakan perjanjian dengan hamba-Nya yang setia. Allah menaruh busur-Nya di langit sebagai sebuah tanda perjanjian bahwa Ia tidak akan lagi melakukan hal yang sama bagi dunia. Busur melambangkan suasana perang dan digunakan sebagai senjata untuk membunuh. Ketika Allah meletakkan busur-Nya, sesungguhnya Ia sendiri sedang berjanji untuk memelihara bumi ini demi keselamatan, bukan demi kebinasaan, demi harapan baru, hidup baru di bumi baru yang telah dibaharui oleh tangan Allah.

Yang Istimewa Dalam Diri Manusia
Menarik untuk bertanya, apa sih yang membuat Nuh begitu istimewa bagi Allah? Jawabannya kita temukan dalam Kej 6:9 dikatakan bahwa “Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.” Nuh begitu istimewa bagi Allah karena tiga hal ini: (1) Seorang yang benar (memegang kebenaran Allah), (2) hidup bergaul dengan Allah, (3) hidup tidak bercela (memelihara kebenaran Allah itu). Kita sendiri perlu bertanya, “apa yang membuat kita istimewa di hadapan Allah?”



Suatu kali, seorang anak kecil tersesat di tengah hutan. Tiba-tiba ia bertemu dengan seekor beruang besar. Sekejap si anak dikuasai ketakutan dan perasaaan panas dingin. Dalam ketakutan itu ternyata si kecil masih ingat Tuhan, dan berdoalah dia dalam ketakutannya memohon keselamatan. Anehnya, si beruang itu terdiam tanpa gerak. Si kecil bangga dan meras aman, lalu mendekati beruang itu. Ternyata si beruang juga sedang berdoa katanya, "Ya Tuhan, berkatilah makanan ini. Amin!” Lanjutin sendiri ceritanya yach.


Akan tetapi, yang Saya mau kemukakan di sini ialah bahwa kita seringkali merasa cukup hanya ketika kita telah berdoa, cukup dengan saat teduh, cukup dengan bergereja, cukup dengan menyanyi, cukup dengan beramal. Sementara waktu-waktu lain kita pakai untuk kepentingan diri kita sendiri.


Yang membuat Tuhan Yesus istimewa adalah ketaatan-Nya kepada Allah. Karena ketaatan-Nya, Allah kemudian meneguhkan-Nya sebagai anak yang dikasihi. Pada saat ia dibaptiskan Allah berkata, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Peneguhan sebagai Anak Allah tidak lantas mengubah ketaatan-Nya menjadi sebuah kesombongan. Berbeda dengan manusia yang setelah mendapatkan posisi sentral kemudian menjadi lupa diri. Setelah dilantik berubah menjadi diktator dan penindas. Akan tetapi Tuhan Yesus tidak demikian. Ketika Ia menghadapi pencobaan di padang gurun, Ia tetap berjalan dalam pimpinan Roh Kudus. Ia selalu dekat dengan Allah. Ia merenungkan kebenaran firman-Nya dan berjalan di dalam-Nya. Dan kekuatan Firman itulah yang menjadi senjata ampuhnya dalam melawan setiap godaan yang ditawarkan Iblis kepada-Nya.


Yesus tidak memilih kepentingan perut sendiri, melainkan memilih untuk taat. Sekalipun para malaikat siap menatang-Nya, namun Ia tidak memilih popularitas pribadi, melainkan memilih untuk tetap melayani Allah. Sekalipun mudah bagi-Nya mendapatkan seluruh kuasa dan kekayaan duniawi, namun ia lebih memilih jalan salib untuk menyelamatkan manusia.

Aplikasi
Bagaimana dengan kita? Menyuarakan dan berjalan dalam kebenaran di tengah kultur kehidupan yang semakin individualistis dan materialistis seperti saat ini, tentu saja mendapatkan tantangan cukup berat. Kalau kata pak Rigi, yang kita hadapi bukanlah manusia-manusia biasa, tetapi serigala-serigala buas. Seperti yang dihadapi Nuh, Tuhan Yesus dan para murid yang setia. Akan tetapi, justru di situlah Allah memanggil kita untuk menjadi Alter Kristi, Kristus-kristus yang lain. Yakni belajar meniru ketaatan dan kasih-Nya kepada Allah.



Selama kita meneguhkan hati untuk berjalan dalam nilai-nilai Allah, kebenaran Allah, kita percaya bahwa busur Allah selalu ada di atas kita, memelihara dan melindungi kita. Untuk itu, mari beri diri kita dipimpin oleh Roh Kudus, sebab di dalamnya ada kekuatan dan pertolongan, jawaban dan jalan keluar serta jaminan hidup yang abadi.
Sabe Satta Bhavantu Shukitatta