Kej. 17:1-7, 15-16; Rom. 4:13-25; Mzm. 22:23-32; Mark. 8:31-38
Naluri Menyelamatkan NyawaNaluri menyelamatkan nyawa merupakan anugerah Allah kepada setiap makhluk hidup, tidak saja manusia, tetapi juga binatang dan semua jenis tanaman. Saat menghadapi suatu bahaya, kita akan segera refleks untuk melindungi dan menyelamatkan diri, dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan yang ada. Biasanya, jika tidak mampu melawan, maka pilihannya ialah berlari sekencang-kencangnya atau bersembunyi berbulan-bulan. Jika mampu, kita akan melakukan perlawanan yang sengit, kalau perlu mengeluarkan senjata pamungkas. Yang pasti, sedapat mungkin kita harus menghindari kecelakaan.
Jika naluri menyelamatkan diri merupakan karunia dari Tuhan agar setiap orang dapat tetap hidup, mengapa Tuhan Yesus justru berkata: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya”? (Mark. 8:35).
Konteks KekinianSuatu ketika sepasang pemuda melintasi hutan berbahaya dan bertemu dengan seekor beruang besar. Seorang pemuda yang pertama kali melihat beruang itu, tanpa memberitahu temannya, segera berlari dan memanjat pohon setinggi mungkin. Sementara pria kedua tidak lagi dapat mengelak dengan berlari, sehingga yang ada di benaknya hanyalah pura-pura mati. Selalu ada cara untuk menyelamatkan diri. Segera pemuda itu menjatuhkan diri dan menahan nafas, pura-pura mati. Beruang itu kemudian mengendus tubuh dan kepala laki-laki itu. Ajaib. Beruang itu tidak mencelakainya, malah meninggalkannya pergi. Ternyata beruang tidak suka jenis makanan yang telah mati.
Setelah turun dari pohon pria pertama itu bertanya kepada kawannya, “Apa yang dibisikkan beruang tadi kepadamu?” Jawab kawannya itu, “Dia bilang, lain kali jangan berkawan dengan orang yang hanya menyelamatkan diri sendiri? Mereka itu nggak setia”
Cerita ini mau mengatakan bahwa dalam upaya menyelamatkan diri sendiri, tidak jarang manusia tega mengorbankan orang lain. Atau dengan kata lain, manusia cenderung egois, hanya mau menyelamatkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain. Kalau kita amati peristiwa dalam tayangan tadi, serta tindakan-tindakan terorisme manapun, dapat dipahami bahwa itu adalah sebentuk upaya pembelaan dan pertahanan diri orang-orang yang merasa terancam. Terancam secara ideologi, teknologi, sosiologi ataupun teologi, maka apapun caranya dapat dinilai halal demi mempertahankan nyawa sendiri/kepentingan sendiri, sekalipun mengorbankan orang lain.
Kecenderungan Menyelamatkan nyawa Sendiri
Inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus “
Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya”. Nyawa dalam konteks ini menunjuk pada keseluruhan diri manusia, hakikatnya sebagai pribadi. Ini berarti, orang yang hanya mementingkan keseluruhan dirinya, kepentingan pribadinya, justru akan kehilangan nyawanya di hadapan Tuhan, kehilangan nilainya di hadapan Allah, sebab dalam diri mereka tidak ada kasih akan Allah, melainkan kasih diri sendiri.
Kata-kata ini disampaikan Yesus kepada para murid, karena ia menyadari bahwa para murid juga masih dikuasai roh egosentrisme. Setiap murid memiliki kepentingan tersendiri mengikut Tuhan Yesus: Thomas ingin jadi filsuf terkenal, Matius pemungut cukai ingin ganti pekerjaan yang lebih layak, Petrus ingin jadi murid nomor satu, Yudas ingin menjadi pengusaha kaya, Yakobus dan Yohanes, seperti yang lain, kelak ingin duduk di sebelah kanan dan kiri singgasana kerajaan. Itulah sebabnya, ketika Tuhan Yesus mengungkapkan jalan derita yang harus dihadapinya, para murid tersentak kaget. Pernyataan Yesus terang saja membuyarkan harapan yang ada di benak para murid, karena semua meletakkan masa depan mereka di atas pundak Tuhan Yesus. Itulah sebabnya Petrus menegur Yesus bahwa sekali-kali itu tidak akan terjadi.
Tidak jarang kita pun mengikut Tuhan Yesus karena alasan untuk mendapatkan sesuatu bagi diri kita sendiri, entah itu berupa kesenangan emosional, kesembuhan yang ajaib, kesejahteraan diri dan bahkan untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Di sini Yesus menegaskan bahwa siapapun yang mengikut Yesus demi kepentingan diri sendiri, justru akan kehilangan nyawanya, sebab mereka tidak akan menemukan kekayaan, jabatan, perusahaan besar, ataupun penghormatan dengan mengikut Yesus. Sebaliknya mereka akan menerima penolakan, fitnah dan rancangan jahat dari musuh, seperti yang dialami sendiri oleh Yesus: menanggung banyak penderitaan, ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit kembali sesudan tiga hari. Inilah beratnya menjadi rang Kristen: meninggalkan Yesus berarti kehilangan nyawa, mengikut Yesus juga akan kehilangan nyawa.
Totalitas Mengikut Tuhan: Menyangkal diriYesus menegaskan bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia, harus mengikut dengan segala totalitas dirinya. Mengikut dengan totalitas diri ini pertama-tama diwujudkan dengan penyangkalan diri. Menyangkal diri di sini berarti secara bersengaja menolak untuk bersikap serakah, tidak haus kekuasaan, mampu mengendalikan hawa-nafsu, mencukupkan diri dengan berkat yang dimiliki dan mengutamakan kehendak Allah di atas segala-galanya.
Orang yang menyangkal diri berarti mengikuti Yesus yang berdoa di Taman Getsemani, “
Jangan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Orang yang menyangkal diri bearti orang yang mau belajar seperti Abraham, yang senantiasa setia menanti janji-janji Allah. Sekalipun belum melihat penggenapan janji Allah pada usia menjelang seratus tahun, namun sikap iman dan kesetiaannya tidak berubah. Abraham tetap percaya, walau dia sering dipenuhi oleh berbagai pergumulan dan ketidakpastian, rasa kuatir dan bimbang. Rasul Paulus menyatakan: “
Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah” (Rom. 4:19-20). Bagaimana bisa? Karena orientasi Abraham senantiasa kepada kehendak Allah, bukan kepada kehendak diri sendiri.
Totalitas Mengikut Tuhan: Memikul SalibKedua, mengikut Tuhan dengan totalitas diri digambarkan dengan kesediaan memikul salib. Seorang murid juga harus bersedia menerima penderitan dan penolakan dunia. Ada banya penderitaan yang akan dihadapi oleh murid yang setia: perjuangan melawan dosa, ejekan dan kebencian dunia, pergumulan melawan iblis, celaan karena berbuat benar, memberitakan Injil tanpa henti, dan sebagainya.
Aplikasi Bagi KitaBagaimana dengan kita? Ahli Teologi Stephen R. Covey mengungkapkan ada tujuh dosa besar yang mendatangkan maut bagi manusia: (1) kekayaan tanpa usaha, (2) kesenangan tanpa nurani, (3) pengetahuan tanpa karakter, (4) bisnis tanpa moralitas, (5) sains tanpa nilai kemanusiaan, (6) agama tanpa pengorbanan, (7) politik tanpa prinsip keadilan.
Saudara, mana di antaranya yang dekat dengan kita? Ketujuh dosa maut ini sebenarnya bermuara pada satu hal saja, yaitu egosentrisme: orang hidup untuk dirinya sendiri, demi kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Saudara, kita dipanggil untuk mengikut Tuhan dengan segala totalitas diri kita. Itu berarti kita dipanggil untuk setia, mencari kekayaan dengan usaha, menikmati kesenangan dalam solideritas, pengetahuan dengan karakter, bisnis dengan moralitas, sains dengan nilai kemanusiaan, agama dengan pengorbanan, dan politik dengan prinsip keadilan.