Thursday, February 26, 2009

Spiritualitas Yang Sehat






Spiritualitas Yang Sehat (Dewasa)

Hidup beragama itu mesti seperti pohon atau orang, kian hari semakin besar dan dewasa. Seperti Yesus, yang kian hari bertambah besar dan bertambah hikmatnya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. Pertumbuhan yang dimaksudkan bukan saja fisik, tapi juga isi. Pertumbuhan yang dialami Yesus bukan hanya secara jasmani, melainkan juga pemahaman dan penghayatan hidup bersama Allah yang menjadikannya semakin berhikmat. Dan, hikmat itu tidak lain ia gunakan hanya demi kehidupan manusia yang semakin damai, sejahtera dan terbebaskan dari belenggu-belenggu dosa.

Dengan demikian jelas bahwa spiritualitas yang sehat adalah spiritualitas yang mendewasa. Bagaimana kita bisa melihat adanya pertumbuhan pada spiritualitas kita? Paulus menjelaskannya dalam perbedaan antara spiritualitas yang orang dewasa dengan spiritualitas kekanak-kanakan.

Perbedaaan spiritualitas kekanak-kanakan dengan spiritualitas dewasa pertama-tama dilihat dari jenis makanan yang dibutuhkan. Masa kanak-kanak membutuhkan makanan yang lunak, seperti susu dan bubur. Bukan makanan keras, karena mereka belum dapat mencerna dan mengolahnya. Materi-materi yang dibutuhkan bukan yang rumit berupa pemahaman-pemahaman kebenaran teologis yang mendalam, melainkan cerita-cerita singkat dan sederhana yang dimengerti sekali mendengar. Sementara spiritulitas yang dewasa sudah seharusnya memahami dasar-dasar kebenaran teologis, menghayati dan mewujudkannya. Makanan keras yang dimaksud bukan saja mencakup pemahaman, melainkan juga pengalaman dan perjuangan hidup yang nyata bersama dengan Tuhan dan sesama.

Perbandingan lain dapat juga kita lihat pada orientasi hidup masa kanak-kanak yang masih self oriented, spiritualitas yang berorientasi pada diri sendiri. Segala sesuatu disorot dari sudut pandang dan selera pribadi. Perasaan mereka menentukan kebenaran, berbeda dengan orang dewasa di mana kebenaran menjadi prinsip iman yang tegas dalam membentuk spiritualitas. Orang dewasa berani memegang kebenaran, sekalipun beresiko tinggi. Ini terjadi, karena orientasi sudah beralih dari diri sendiri kepada Kebenaran Utama, yaitu Allah sendiri.

Perkembangan intelektual dan penalaran masa kanak-kanak yang masih bersifat pra-operasional. Masih banyak yang dikuasai ilusi dan fantasi sendiri. Sementara kemampuan intelektual dan penalaran orang dewasa sudah operasional sepenuhnya, mampu melihat dan memadukan seluruh unsur kehidupan untuk menemukan kebenaran. Dalam hal ini, segala perbedaan tidak dibenci atau dimusuhi, tapi justru dirangkul, dihargai, dimanfaatkan dan memperkaya spiritualitas kita sendiri.

Selain itu, kesadaran sosial orang-orang dewasa mencakup seluruh kemanusiaan, sementara mereka yang masih kanak-kanak terbatas pada yang terlihat secara fisik. Carkawala berpikir seorang dewasa seluas alam semesta, kepeduliaan dan keprihatinan mencakup seluruh umat manusia. Jauh dari pembedaaan dan pengelompokan, seperti yang gemar dilakukan anak-anak. Berbeda dengan kanak-kanak yang menerima se’sama’/sekelompok, spiritualitas orang dewasa memiliki empati yang kuat terhadap semua orang.

Monday, February 23, 2009

Allangkah Indahnya Hidup Berdampingan


Pathos: Allah Menderita karena Kasih

Belajar Dari Pathos Ilahi

Pathos berarti gerakan hati yang penuh kasih, kepedulian, penerimaan dan empati yang mendalam terhadap manusia. Kebalikan dari pathos ialah apathos = apati/antipati, sikap menolak dan anti terhadap sesama, suka memberontak dan hati yang diwarnai kebencian. Dalam diri orang yang apathos tidak ada kasih dan penerimaan yang tulus. Yang ada ialah kebencian, penolakan dan permusuhan.

Tentu saja apathos ini bukan sikap Allah, sebab di dalam Dia tidak ada kebencian dan penolakan. Ia menerima semua orang yang datang kepada Dia dan mengasihi orang-orang yang mencari wajah-Nya. Kalau jujur diungkapkan, itulah pesan utama Natal. Kelahiran Kristus adalah bukti bahwa hati Allah senantiasa terarah kepada manusia, Allah memikirkan manusia, matanya mengamati kita, hatinya merasakan pergumulan manusia sehingga Ia sendiri turun dari tahtanya untuk menolong dan menyelamatkan kita.

Alkisah ada seorang gadis buta yang hidup dalam kekecewaan karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi dia juga marah kepada semua orang karena tidak dapat menolongnya, kecuali kekasihnya. Kekasihnya selalu ada disampingnya untuk menemani dan menghiburnya. Akan tetapi, dia berkata akan menikahi kekasihnya hanya jika dia bisa melihat dunia. Suatu hari, ada seseorang yang mendonorkan sepasang mata kepadanya sehingga dia bisa melihat semua hal, termasuk kekasihnya. Kekasihnya bertanya, "Sekarang kamu bisa melihat dunia. Apakah kamu mau menikah denganku?" Gadis itu terguncang saat melihat bahwa kekasihnya ternyata buta. Dia menolak untuk menikah dengannya. Kekasihnya pergi dengan air mata mengalir, dan kemudian menulis sepucuk surat singkat kepada gadis itu, "Sayangku, tolong jaga baik-baik mata saya."

Perbuatan pria tersebut mengungkapkan besarnya pathos yang dimilikinya bagi kekasihnya. Dia mendampingi, mengasihi, menerima kelemahan dan rela mengorbankan milik kesayangannya bagi orang lain. Bukankah ini juga gambaran yang kita saksikan dalam Kristus Yesus. Karena kasihnya kepada manusia, Allah rela
- Ia menjadi manusia dan turun ke dalam dunia,
- Ia bersedia menjadi sahabat orang berdosa dan tersisih,
- makan dan tidur bersama mereka serta menyembuhkan orang-orang yang sakit,
- Yesus menderita dan mati di kayu salib,
- Semua itu dijalani Allah untuk menebus dan menyelamatkan manusia.

Itulah Pathos Allah, yang mengungkapkan kasih Allah yang mendalam, kepedulian tanpa henti dan pengorbanan yang tiada ternilai harganya. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana respon manusia terhadap pathos Allah itu? Kebanyakan manusia memiliki respon seperti perempuan dalam ilustrasi kita. Pertama, ada orang yang tidak menyadari kebaikan hati orang lain. Ada orang yang tidak menyadari kebaikan dan kasih Allah kepada manusia. Contoh dalam kisah kita digambarkan oleh orang-orang Farisi tidak menyadari bahwa kasih Allah telah turun bagi manusia. Hidup mereka terlalu nyaman untuk disibukkan melihat tempat lahirnya sang mesias. Mereka terlalu lelap untuk bangun dan mendengar seruan para malaikat yang menyanyi memuliakan Allah. Mereka tidak mampu menyadari bahwa pada malam itu telah lahir Jurus’lamat bagi dunia.
Kedua, seperti perempuan itu yang menolak kekasih yang telah berkorban baginya, demikian pula banyak orang yang menolak hadirnya sang Mesias. Herodes adalah orang yang memiliki hati yang apathos. Ia menolak dan mengecam kehadiran Kristus. Herodes tidak dikuasai oleh iman, tetapi dikuasai oleh “paranoia”, kecemasan atau ketakutan yang berlebihan. Takut jabatannya diambil alih, takut tidak memiliki kuasa, takut menjadi miskin, takut pekerjaan hilang, dsb. Orang yang paranoid seperti ini bersikap tidak realistik, tidak logis, dan dangat egosentris. Itulah sebabnya Herodes memerintahkan untuk membunuh bayi-bayi yang berumur di bawah 2 tahun, agar jabatan dan kehormatannya tidak diganggu siapapun. Mereka ini akan melewatkan sesuatu yang sangat berharga dari Allah.
Sebagai orang beriman, respon kita seharusnya sama seperti para gembala dan orang Majus (Mat. 2:1-12). Para gembala senantiasa menunggu datangnya rahmat Tuhan. Dalam kelemahan yang mereka alami, pengharapan satu-satunya ialah pertolongan Allah. Dengan hati yang menanti dan senantiasa mencari rahmat Allah, merekalah yang siap menyambut berita sukacita atas lahirnya Sang Jurus’lamat.
Sementara itu, Para Majus adalah orang-orang Bijak dari Timur (Persia). Dengan hikmat yang mereka miliki, mereka giat menelusuri tanda-tanda alam dan menggali pesan-pesan kenabian dalam kitab suci, sehingga mereka menemukan anugerah Allah yang dinyatakan bagi manusia.Pencarian mereka tidak selesai dengan mengetahui akan lahirnya seorang raja yang besar. Pencarian mereka berubah menjadi sebuah peziarahan iman, kerinduan, hasrat hati untuk menemukan raja yang besar itu. Mereka meninggalkan kenyamanan hidup, berepot-repot ria meninggalkan istana masing-masing, melakukan perjalanan yang melelahkan dan menempuh daratan sejauh 1.600 Km untuk sampai ke ke Betlehem, tempat lahirnya Mesias.
Perjalanan yang jauh tidak membuat mereka putus asa, karena yang menguasai hati mereka adalah pathos ilahi, gerakan hati untuk mencari, menemukan, dan mempersembahkan yang terbaik untuk Sang raja. Yang menguasai hati mereka bukan lagi harta, jabatan, tahta ataupun kehormatan duniawi, melainkan kerinduan dan motivasi untuk segera bertemu dengan Sang Jurus’lamat. Kerinduan seperti ini akan mencegah mereka untuk mengeluh, ngomel, hidup dalam kritik, dan menyerah.

Apakah yang mereka dapatkan? Anugerah Allah tercurah bagi orang-orang yang mencari-Nya. “Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang ang berseru padanya dalam kesetiaan (Mzm 145:18). “Mendekatlah kepada Allah, maka Ia akan mendekat kepada-Mu” (Yak 4:8). Ini menandakan bahwa Tuhan berkenan ditemui oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mencari-Nya.

Bagaimana dengan kita? Adakah kita memiliki kerinduan untuk mencari wajah Tuhan? Ketika datang ke gereja, seberapa sungguh kita ingin menemukan Tuhan? Ke gereja untuk cari Tuhan, bukan cari hormat, pujian.
Ketika bekerja, seberapa sungguh kita melibatkan Tuhan. Atau jangan-jangan benar kata orang, bahwa setiap orang yang datang ke Batam bukanlah untuk mencari Tuhan. Kalau begitu, benarkah kita bekerja semata cari duit, melainkan menikmati kebaikan Tuhan, menemukan kasih dan pertolongan serta belajar melibatkan Dia dalam pekerjaan dan bersyukur senantiasa
Sudahkan kita memiliki pathos ilahi. Gerakan hati untuk tidak saja menerima Tuhan dengan sungguh-sungguh, melainkan juga menerima orang lain dengan tulus, mengasihi mereka dengan sungguh. Masihkah hati kita tergetar melihat orang yang berduka, kesepian, kelaparan. Berilah hatimu untuk orang lain. Mulai dari hal-hal kecil dengan mendengarkan keluhan mereka yang berbeban berat, memberikan semangat kepada yang putus asa dan menolong mereka yang tidak berdaya. Barangkali kita tidak dapat menolong 1000 orang, 100 orang atau sebanyak 10 orang, tetapi menolong 2 orang saja setiap hari akan menjadi kesukaan besar bagi Tuhan.

Dipanggil Menyatakan Kemuliaan Allah

Dipanggil Untuk Menyatakan Kemuliaan Allah

Ketika saya searching tentang tema ini di internet, Saya menemukan paling banyak artikel mengatakan bahwa hidup mulia identik dengan hidup sebagai jihad, mati sahid dan menjadi martir. Hidup mulia identik dengan berperang membela agama.

Saya langsung teringat dengan perang Israel-Hamas di Kota Gaza yang saat ini memasuki hari yang ke 21 dan memakan korban tewas lebihdari 1100 orang dan luka-luka sebanyak + 5000 orang. Sekalipun ada perbandingan persenjataan dan jumlah pasukan yang tidak seimbang antara Isarel dengan Hamas, namun semangat perlawanan Hamas tetap kuat. Ini terjadi karena bagi mereka adalah sebuah kehinaan jikalau tunduk kepada Israel. Adalah hidup yang nista jikalau membiarkan diri dijajah. Sebaliknya, adalah hidup yang mulia, jikalau mengadakan perlawanan. Hidup mulia jikalau mati dalam perang. Orang yang mati sahid akan memperoleh kemuliaan Allah dan kelak akan didudukkan dalam derajat yang tinggi di sorga.

Lalu bagaimana dengan Israel? Apakah mereka memiliki ideologi yang sama? Saya lebih melihat bahwa dalam setiap perang yang bermain adalah kepentingan. Tanpa kepentingan tidak mungkin ada pertikaian dan perang. Karena kepentingan sendiri, Hamas rela menjadikan warga sipil sebagai tameng dalam perang, sehingga banyak rakyat Palestina yang menjadi korban. Karena kepentingan juga Israel melakukan invasi dan tidak peduli berapa jumlah warga sipil dan anak-anak yang menjadi korban.

Ini menunjukkan bahwa ketika kepentingan menguasai manusia, maka suara Tuhan tidak lagi mampu kita dengar? Ketika kita dikuasai oleh nafsu sendiri, sepertinya sekalipun Tuhan berteriak kita tetap tuli. Contoh, Siapa yang pernah bertengkar di rumah atau dengan sahabat? Siapa yang pernah diam-diaman dengan teman sepelayanan? Saat itu pasti ada suara dalam hati yang berbisik: “Jangan bertengkar, sabar, tenang”. Tetapi karena gengsi akhirnya diam-diaman deh seminggu.

Di Alkitab kita bisa menemukan 2 orang yang mendapat kesempatan untuk mendengarkan panggilan Tuhan. Mereka adalah Samuel (1 Sam 3:1-10) dan Natanael (Yoh 1:43-51). Ada beberapa perbedaan pada pemanggilan kedua orang ini. Pertama, Samuel mendengarkan panggilan Tuhan di usia kecil, sementara Natanael mendengarkan panggilan Tuhan diusia dewasa. Ini menandakan bahwa usia tidak menjadi batasan bagi Tuhan untuk memanggil kita. Kecil-dewasa, pria-wanita, semua mendapat kesempatan untuk dipanggil dan dipakai Tuhan.
Kedua, Tuhan memanggil Samuel di Bait Suci dan untuk bekerja di sana, sementara Natanael dipanggil dari masyarakat awam dan untuk bekerja di sana. Ini menunjukkan bahwa Allah memang memanggil siapa saja, dari golongan mana saja untuk melayani di tempat mereka masing-masing. Panggilan Allah tidak hanya bagi penatua dan pendeta saja, tetapi juga bagi seluruh umat. Allah tidak hanya memakai orang sehat, tetapi juga orang sakit sebagai saksi-saksi iman. Allah tidak hanya memakai orang yang bahagia, tetapi juga orang menderita sebagai teladan-teladan iman. Allah juga berkenan memakai kita pribadi untuk menyatakan kemuliaan Allah di tempat masing-masing kita hidup.

Inilah yang dialami oleh Samuel Mulia. Dia lahir dari sebuah keluarga dokter yang harmonis dan tidak kurang kasih sayang. Tetapi Samuel lahir dengan kromosom XXY, yang mendorongnya menjadi seorang gay. Ia belum bisa tertarik dengan perempuan. Ada masa-masa kelam Samuel sebagai gay. Penghinaan orang terhadapnya dibalas dengan menghujat Tuhan. Ia pernah menantang Tuhan dengan berkata tidak takut masuk neraka. Samuel sering mencabuli dirinya. Pernah jadi simpanan suami orang selama dua tahun. Dan, ia tidak percaya pernikahan.

Dalam semua itu, Samuel Mulia tidak menemukan kebahagiaan hidup. Dalam sebuah operasi ginjal yang gagal, Samuel mampu menghayati suara Tuhan bahwa tidak sembarangan Tuhan mencipta manusia. Tuhan Yesus berkata bahwa dalam penderitaan manusia, nama Allah akan dipermuliakan. Samuel mengerti panggilan itu ditujukan kepadanya. Ia sadar Allah mengasihinya. Ia berubah. Sekarang telah 5 tahun ia menjaga kekudusan dirinya dari perbuatan cemar. Ia bahkan rutin mengadakan persekutuan rohani untuk para gay dan lesbian, dan banyak orang kembali membentuk kehidupan yang sehat dan wajar sesuai dengan kehendak Tuhan.

Dari kisah ini kita mengerti bahwa panggilan Tuhan selalu membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Tuhan memanggil Samuel Mulia kepada perubahan hidup yang benar. Yesus memanggil Natanael menjadi murid dan penjala manusia. Samuel sebagai pelayan di Bait Allah. Dan Tuhan juga memanggil kita menjadi anak, murid dan saksi Allah di tengah-tengah dunia ini.
Di sini dibutuhkan kepekaan untuk merespon suara Tuhan. Samuel sangat peka terhadap panggilan Allah dan ia merespon panggilan itu, “Berbicaralah Tuhan, sebab hambamu ini mendengar”. Sebanyak tiga kali Tuhan bersuara dan hanya Samuel saja yang mendengarnya. Menarik untuk bertanya, “Mengapa Imam Eli tidak mendengarnya?” Jawabannya ialah karena Imam Eli tidak lagi peka mendengarkan suara Tuhan. Ia gagal menjadi imam yang baik. Ia gagal mendidik anak-anak dengan benar. Anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak menegur mereka” (1 Sam 3:13). Ia dikuasai oleh pementingan diri sendiri.

Berbeda dengan Samuel yang lugu, setia, taat dan mau dibentuk. Hidupnya kudus, sehingga ia mampu mendengarkan suara Allah dan memelihara panggilan itu. Inilah yang diminta Tuhan dari diri kita: Allah memerlukan tempat kudus dalam hati kita, sebagai tempat kehadiran-Nya. Kel 25:8 berkata, "Dan mereka harus membuat tempat kudus bagi-Ku, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka." Allah akan tinggal di dalam kita, jika kita menjadi tempat kudus-Nya. Kita adalah Bait Allah dan Bait Allah haruslah kudus. Allah tidak akan hadir di atas ketidakkudusan! Kata seorang pendeta, tanpa kekudusan, maka kita akan menjadi KUDIS (kurang disiplin - telat ibadah), KUMAN (kurang iman - untuk menjalani pergumulan hidup) dan KURAP (kurang harapan - untuk menghadapi masa depan).

Mengapa kita harus hidup kudus? Mengapa Allah berkenan memanggil kita? Mari kita baca I Kor. 6:20 “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Saudara-saudaraku, hidup kita telah lunas dibayar dengan hidup Kristus sendiri. Tubuh kita telah ditebus melalui tubuh Kristus sendiri. Tapi jangan pakai ayat ini sembarangan... pulang dari gereja kita jajan di depan gereja, terus kita tidak bayar dengan alasan kata Marto “makanan ini sudah dibeli dan harganya telah lunas dibayar”. Untuk kasus ini, ayat ini tidak berlaku.

Berbicara mengenai panggilan pribadi, apakah yang menjadi panggilan hidup saudara? Apakah panggilan saudara di dalam pekerjaan, di keluarga, di dalam pergaulan dan pelayanan di gereja? Tuhan memanggil kita untuk melayani. Melayani demi kemuliaan Tuhan. Bekerja bukan semata untuk keuntungan dan uang, atau untuk kemuliaan diri atau demi jabatan, melainkan untuk berkarya bagi Tuhan. Melayani keluarga demi kebahagiaan dan keharmonisan serta penciptaan persekutuan dengan Tuhan. Melayani di gereja sebagai bentuk ungkapan syukur atas keselamatan diri kita.

Dalam semua itu, kita harus tetap menjaga diri kita agar tetap kudus. Tidak saja pada hari Minggu, tetapi pada setiap hari, di setiap tempat dan dalam pergaulan dengan semua orang. Pertanyaan terakhir: sudahkah orang bergaul dengan kita bukan karena jabatan, harta dan penampilan kita, melainkan karena karakter, sifat, perbuatan yang kita nyatakan?

Monday, February 16, 2009

Keluarga Yang Memuji Tuhan

Mzm 150:1-6

Pujian adalah suatu sikap yang terekspresi secara wajar dan otomatis ketika seseorang masuk dalam kekaguman. Arti ini benar, mendalam dan menantang. Tanpa kekaguman, memuji Tuhan akan menjadi tugas dan kewajiban semata, yang ditunaikan secara biasa, atau menjadi basa-basi yang munafik dan kosong tanpa rasa. Tetapi, dengan kekaguman, memuji Tuhan menjadi ekspresi penuh arti, lahir dari hati dan menuju Sang Ilahi.

Kekaguman seperti itulah yang memenuhi hati Daud, ketika menyaksikan Allah hadir dalam jiwa dan kebaikan-Nya nyata dalam setiap peristiwa. Mazmur sendiri adalah kesaksian atas kekaguman itu. Daud mengenal Allah bak gunung batu yang kokoh, (ny)aman laksana kota benteng, perkasa seperti kekuatan pada burung rajawali dan setia bagaikan surya yang tidak pernah terlambat memberi kehangatan.

Rasa kagum itulah yang membimbing jiwa Daud untuk senantiasa memuji Tuhan, dengan segala kekayaan seni yang dimiliki manusia. Memuji Tuhan dengan sangkakala, gambus, kecapi , rebana, ceracap, seruling dan tari-tarian. Semuanya dipadukan menjadi persembahan yang indah, dinaikkan dalam rasa ketakjuban dengan warna kegirangan yang membakar semangat. Dengan kata lain, Daud memuji Tuhan dengan segenap hati-jiwa-raganya dan menyerukan kebaikan Tuhan yang sungguh mengagumkan.

Penghayatan ini penting artinya bagi kita, khususnya dalam moment Bulan Keluarga saat ini? Jelas saja, bahwa keluarga yang memuji Tuhan adalah keluarga yang di dalamnya Tuhan hadir. Setiap anggota mengagumi serta merasakan kebaikan-Nya. Keluarga tanpa kehadiran Tuhan laksana kawanan domba tanpa gembala, tiada pembimbing dan mudah diserakkan serta dicabik-cabik serigala kehancuran. Bayangkan betapa kacaunya jikalau setiap anggota keluarga berjalan sendiri-sendiri, melakukan kehendaknya sendiri dan hidup demi diri sendiri. Tetapi di dalam Tuhan, kita diikat menjadi satu dan utuh. Di dalamnya ada canda keharmonisan, suka yang menghalau lelah, tawa yang mengubah duka dan cinta yang merobek rasa jenuh. Maka, mari, undang Tuhan hadir di rumah kita, jangan biarkan Dia hanya mngetuk dan menunggu di balik pintu.

Pujian yang tulus tidak dapat dipisahkan dengan keseluruhan kehidupan kita dari hari ke hari. Keluarga yang senantiasa memuji Tuhan terlihat dari perilaku hidup sehari-hari, yakni bagaimana suami penuh kasih mesra dengan istri, orang tua akrab dengan anak, kakak sayang pada adik dan keluarga rukun dengan tetangga. Tidak hanya itu, kekaguman terhadap Tuhan juga terlihat dari ekspresi iman yang terus merindu untuk bersekutu dan melayani (jemaat) Tuhan tanpa putus. Pujian yang hidup lahir dari hati, nyata dalam aksi dan berbuahkan kasih.

Akan tetapi, iman yang dewasa tidak hanya memuji Tuhan pada saat hidup melimpah saja, melainkan juga pada saat kesusahan melanda. Pujian itu membebaskan jiwa dan hati kita. Sekalipun hidup ini dibelenggu oleh kesakitan dan keterbatasan, tetapi hati dan jiwa kita bebas. Pujian dalam kesesakan keluar dari iman, bukan dari perasaan semata, dan itu akan menjadi seruan yang kuat kepada Tuhan . Selanjutnya, jika kita masih dapat memuji Tuhan pada masa sulit, itu membuktikan kita mengenal siapakan sebenarnya Tuhan yang di dalam kita. Akhirnya, pujian dalam kesesakan akan menjadi kesaksian yang indah bagi sesama.

Demikian pula hendaknya puji-pujian kita tidak pernah berhenti kepada Tuhan. Dalam suka, duka, sakit dan terhimpit. Jikalau kita berhenti memuji Tuhan, Tuhan dapat menjadikan batu-batu bisu berbicara untuk menaikkan pujian bagi-Nya. Maukah diri kita diganti dengan batu-batu atau orang lain. Tentu tidak

Sunday, February 15, 2009

Percayalah, Allah Pasti Menolong

(2 Raj 5:1-14 & Mrk 1: 40-45)

Kesehatan merupakan anugerah dan kebutuhan manusia yang sangat penting. Kalau bisa sih selalu sehat dalam hidup. Makan nggak makan yang penting sehat. Bisa nggak begitu? Kalau kita berkunjung ke rumah-rumah jemaat, selalu kita bertanya “Sehat kan semua?” atau keluarga yang bersangkutan minta didoakan “Agar cepat sembuh, agar selalu diberi kesehatan”. Dan biasanya siapapun akan membayar harga semampu mungkin untuk berobat. Kalau perlu jual tanah, mobil atau rumah untuk pembiayaannya.


Dua Orang Kusta
Dalam bacaan ini kita menemukan dua orang yang sedang mengalami sakit berat, yaitu Naaman dan Si Kusta yang bertemu dengan Tuhan Yesus. Dalam masyarakat Yahudi, kusta merupakan salah satu penyakit terberat. Seperti apakah derita berpenykit kusta ini?
Kusta akan mengakibatkan rasa sakit yang mendalam pada sipenderita, kulit-kulitnya akan membusuk, mengeluarkan bau dan rasa pedih yang amat sangat, bahkan perlahan satu persatu organ tubuh mereka bisa lepas begitu saja. Belum ada obatnya.
Derita yang mereka alami tidak berhenti di sana. Mereka juga mengalami siksaan dari masyarakat, karena seorang yang berpenyakit kusta akan diisolasi, disingkirkan dari interaksi sosial. Ketika mereka ditemui dalam kawasan pemukiman umum, mereka akan dilempari dengan batu dan diteriaki najis, agar si penderita jangan coba-coba memasuki pemukiman.
Penderitaan mereka semakin sempurna ketika mereka juga tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam peribadahan-peribadahan, tidak lagi bisa mendengarkan kotbah seperti kita, dan mereka kemudian merasa diri mereka rendah, hina dan tidak layak di hadapan Tuhan dan sesama.

Dengan alasan ini tentu saja semua orang akan merasa bahwa menderita penyakit kusta adalah derita seumur hidup. Inilah bayangan yang dimiliki Naaman, ketika ia mulai mengidap gejala penyakit kusta. Ini jugalah yang dialami oleh si kusta yang bertemu dengan Tuhan Yesus. Untuk memperoleh kesembuhan, si kusta ini memberanikan dirinya untuk bertemu dengan Tuhan Yesus, sekalipun mungkin taruhannya adalah lemparan batu dari masyarakat. Untuk memperoleh kesembuhan Naaman juga rela pergi ke luar negeri, dari Aram ke Israel. Sekalipun saat itu Israel dan Aram sedang bermusuhan, namun Naaman tetap berusaha datang ke Israel untuk bertemu dengan nabi Elisa. Sampai-sampai Raja Aram membekalinya dengan biaya pengobatan sebesar 7,7 Miliar rupiah. Yang penting panglimanya sembuh. Ini membuktikan betapa pentingnya arti kesehatan dalam hidup ini.

Cari Solusi Spektakuler?
Hanya, manusia zaman sekarang cenderung mencari solusi hidup yang serba cepat, spektakuler dan luar biasa. Kalau saudara diminta memilih naik pesawat atau kapal laut, disket atau flasdik, komputer atau laptop, kira-kira pilih mana? Pasti pilih yang cepat, hebat dan luar biasa dayanya. Ini menunjukkan bahwa manusia hidup dalam pola yang serba cepat. Ketika tiba di rumah Elisa, Naaman berharap akan bertemua Elisa agar bisa menjamah dan menyembuhkan penyakitnya secara ajaib. Akan tetapi, ternyata Elisa tidak menemuinya, malah menyuruhnya mandi di sungai Yordan sebanyak tujuh kali. Naaman kecewa, dan pergi dengan hati gusar. Kalau soal mandi, ngapain juga harus jauh-jauh sampai ke negeri orang.

Ada juga contoh terkini. Baru-baru ini ratusan orang datang ke daerah Jombang untuk bertemu dengan dukun cilik bernama Ponari, yang memiliki sebuah batu yang didapatnya saat ia tersambar petir. Sekalipun 2 orang meninggal karena antrian yang sangat padat, namun semangat masyarakat tidak lantas surut hanya untuk mendapatkan air yang telah dicelupkan batu milik Ponari. Sekalipun MUI dan Polisi melarang praktek ini, tetap saja orang berbondong-bondong datang untuk disembuhkan. Yang penting mereka dapat disembuhkan dengan cepat, ajaib dan tanpa biaya besar.

Melalui pengalaman dua si kusta ini, Firman Tuhan mengajar kita bahwa karya pertolongan Tuhan tidak selalu terjadi melalui kejadian-kejadian spektakuler dan ajaib, melainkan juga lewat hal-hal kecil dan terlihat biasa. Dalam kesembuhan Naaman, Tuhan hanya memakai cara yang sederhana, biasa dan tidak terkira sebelumnya. Hamba Naaman sendiri mengakui bahwa hal itu sangatlah mudah. Namun melalui hal biasa itulah karya Tuhan menjadi nyata bagi Naaman.

Seperti Naaman, jangan mata kita terpaku pada cara atau bentuk penyembuhan, melainkan melihat bahwa Tuhanlah yang berkarya dalam cara-cara tersebut. Jangan kita terpaku pada apa yang terlihat: obat, uang, pekerjaan, kendaraan, melainkan mengamini bahwa Tuhanlah yang bekerja dalam semua hal tersebut dengan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Sama seperti si kusta yang bertemu Tuhan Yesus, ia tidak peduli caranya, yang penting ia melihat bahwa Yesus mampu meyembuhkannya. Ia siap dibawa Yesus ke luar tembok Yerusalem, menjamah dan menyembuhkannya di sana, hingga tahir.

Sekarang ini orang cenderung membalik keadaan. Bukan “Aku percaya, Allah menolong”, melainkan “Allah menolong, aku percaya.” Orang cenderung melihat dulu baru percaya. Naaman sembuh dulu baru percaya. Sukses dulu baru percaya. Tapi, kalau gagal, kalau nggak sembuh, kalau tidak ada hal ajaib, kalau rejeki menurun, keyakinan menjadi taruhan yang pertama. Akibatnya, banyak orang yang datang ke KKR berorientasi sembuh, namun pulang dengan kekecewaan, keraguan, kebimbangan, merasa tidak didengar dan ditinggalkan Tuhan. Orisentasi semacam ini tentu saja keliru. Ketika kita berangkat dengan keinginan kita sendiri, kita sering terjebak dalam sikap dan tindakan iman yang salah. Kita cenderung memaksa Allah untuk menolong kita secepat dan seajaib mungkin.

Menjelang hari valentine, seorang pemudi meminta kepada Tuhan setangkai bunga dan seekor kupu-kupu untuk dipelihara. Tetapi, Tuhan malah memberinya kaktus dan seekor ulat besar. Pemudi itu terkejut dan menjadi kecewa, karena mendapat kebalikan dari permintaannya. Namun pas hari Valentine pemudi itu takjub melihat kaktus itu telah berbunga indah dan seekor kupu-kupu indah hinggap di atasnya. Ia pun sadar bahwa Tuhan punya 1001 cara untuk membahagiakan umat-Nya, bahkan di luar dugaan-dugaan kita sebelumnya.

Mulai Dengan Iman
Pertanyaan terakhir yang harus kita jawab adalah dalam banyaknya pergumulan hidup yang kita alami, bagaimanakah kita harus bersikap di hadapan Tuhan? Sikap iman yang seharusnya kita bangun adalah sikap iman seperti si kusta yang bertemu dengan Tuhan Yesus. Si kusta itu datang dengan segala kerendahan hati, segala kekuatan harapan, dan segala kekuatan iman yang ia miliki. Kalimat “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku” menunjukkan kesadaran bahwa (1) Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk menolong maslah apapun, (2) sesungguhnya ia tidak layak untuk keajaiban. Sehingga yang paling dibutuhkan oleh si kusta ialah belas kasihan Tuhan Yesus. Ia tidak mau memaksa, tidak mendesak ataupun memerintah. Seperti pemazmur, kita berseru ‘dengarlah Tuhan dan kasihanilah aku, Tuhan, jadilah penolongku’.

Ini artinya kita jangan datang kepada Yesus dengan naik pesawat: ambisi yang terlalu tinggi, tuntutan pertolongan yang spektakuler, atau harapan demi kenyamanan, kemudahan dan kesenangan semata. Tetapi kita harus belajar memangkas sayap-sayap kesombongan kita dan mulai datang kepadanya lewat salib, agar kita sungguh mengerti maksud dan kehendak Tuhan dalam kehidupan kita.

Terakhir, masih banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan jamahan kasih dari Tuhan Yesus. Dan Tuhan telah mengutus kita bahwa barangsiapa melakukan sesuatu hal kecil bagi mereka, kita telah melakukannya bagi Tuhan. Untuk itu, marilah kita saling menolong, saling menopang dan melayani sebaik mungkin.

Pengabdian Abadi

PENGABDIAN ABADI
(Mzm. 147:1-11 & Mrk. 1:29-39)

Suatu ketika seorang ibu jatuh pingsan. Dalam kondisi itu, konon ia bertemu dengan malaikat lalu bertanya, “Apakah sekarang waktunya meninggal?” Jawab Malaikat itu, “Belum, waktumu masih 30 tahun lagi!” Setelah siuman, wanita itu sangat gembira. Ia merasa 30 tahun adalah waktu yang sangat panjang dan harus diisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Tapi apa yang bisa dilakukan wanita dengan wajah dan kulit yang mulai keriput itu? Kita lihat nanti.

Tapi, sekarang ada yang perlu kita perhatikan bahwa sebagian besar kita merasa seperti si ibu tersebut, mengira bahwa waktu hidup kita masih sangat panjang. Padahal siapa yang tahu usia kura-kura; binatang paling tua, tapi banyak juga yang mati muda. Memahami bahwa hidup kita masih panjang akan memberi kita pengharapan bahwa kita masih memiliki banyak kesempatan untuk melakukan perbuatan dan pekerjaan yang baik dan berguna. Akan tetapi, pada sisi lain, ada bahaya yang juga menyertainya:
1. Kita cenderung menjadi sangat santai, sibuk dengan urusan sendiri, pekerjaan sendiri dan larut dalam kesenangan sendiri. Energi habis untuk diri sendiri.
2. Kita cenderung merasa bahwa belum waktunya untuk melayani, masih terlalu muda untuk melayani, aku nggak bisa, yang lain aja (wa bo pien pa’mi kai-lah), terlalu sibuk dengan pekerjaan, belum waktunya hidup jujur.

Akhirnya kita menjadi (kuman) kurang iman, (kudis) kurang disiplin dan (kurap) kurang harapan dalam hidup ini. Tentu saja usia dan pekerjaan tidak dapat disalahkan. Yang salah ialah ketika orientasi/fokus berhenti pada pencarian keuntungan diri sendiri, bukan pada Tuhan. Orientasi kita mentok pada perhitungan waktu, bukan pada pengabdian kepada Tuhan.

Wanita tersebut tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dalam masa tua. Akhirnya ia memutuskan untuk menjalani operasi plastik. Wajah, perut, kulit dan bagian tubuh lainnya dipermak habis. Memang, jadilah wanita itu seperti gadis 25 tahun. Sepulang dari rumah sakit, saking girangnya ia lupa memperhatikan jalannya, hingga akhirnya tertabrak mobil hingga tewas. Kemudian ia bertemu kembali dengan malaikat yang sama, lalau mengajukan komplain, “katanya masih hidup 30 tahun lagi, kenapa sekarang sudah mati?” Malaikat itu dengan ringan menjawab, “O, rupanya kamu toh. Sorry ya…Habis wajah kamu beda sih, jadi saya tidak kenal.”

Memahami hidup lepas dari orientasi kepada Allah akan mengacaukan pengabdian kita. Ketika masalah datang kita cenderung meninggalkan jalan pengabdian kepada Tuhan, atau barangkali menjalaninya dengan keterpaksaan yang menggerogoti ketulusan dan kerelaan hati kita. Akibatnya, pelayanan berjalan ada kadarnya, hati terbeban dan tidak ada pengabdian yang sungguh-sungguh.

Mengabdi berbeda dengan diperbudak. Seorang abdi bekerja dari hati dan kesadaran diri. Ada niatan yang tulu. Sementaraseorang budak bekerja dengan keterpaksaan, kewtidakbebasan dan ketidakikhlasan. Bagaimana mengabdi kepada Allah tanpa merasa dipaksa, dibebani, ditekan ataupun diperbudak? Orientasi mata kita harus tertuju kepada karya penebusan Kristus yang tersalib. Hati kita harus menghayati karya keselamatan Allah yang telah dikerjakan bagi kita.

Pemazmur mengungkapkan bahwa ada banyak alasan yang seharusnya membuat kita melimpah dengan syukur dan mengabdi kepada Allah dengan sukacita. Dalam pengalaman hidup Israel, pemazmur takjub melihat bagaimana: (1) Tuhan mengumpulkan kembali orang-orang yang tercerai-berai, (2) Tuhan menyembuhkan orang-orang yang sakit dan patah hati, (3) Tuhan menegakkan orang-orang yang menderita, (4) Tuhan mengatur semesta dengan baik, dan (5) Tuhan menyediakan makanan bagi seluruh makhluk dengan berkecukupan. Menyadari semua ini, maka selalu ada alasan untuk bersyukur dan memuji Tuhan. Lihat apa yang terjadi di hidup kita, maka kita akan menemukan alasan untuk bersyukur dan mengabdi kepada Tuhan dengan segenap hati.

Paulus menyadari dirinya sebagai hamba yang telah ditebus Tuhan Yesus, orang yang telah ditangkap kasih Allah dan penjahat yang telah diubah menjadi (penjahit sekaligus) penjala manusia. Atas semua itu Paulus sangat bersyukur. Ia bersedia mengabdikan dirinya sebagai saksi Injil Allah kepada dunia. Segala pelayanannya diberikan secara cuma-cuma, karena semua itu berangkat dari rasa syukur yang mendalam. Paulus telah mendapatkan kasih dan keselamatan itu secara cuma-cuma, maka ia juga memberikannya gratis. Sekalipun berhak mendapat upah atas kerja kerasnya, namun Paulus rela melepaskan hak itu, lalu mengedepankan kewajiban kepada Allah. Di sini kita memahami bahwa pengabdian selalu berjalan beriringan dengan kesediaan untuk melepaskan hak.

Kalau kita menghayati ini dengan sungguh-sungguh, maka kita akan termotivasi untuk mengabdi dengan sukarela, beribadah bukan untuk mendapatkan berkat duniawi, bernyanyi bukan untuk tepuk tangan, melayani bukan untuk dihormati, menjabat bukan untuk mencari untung semata. Menghayati diri sebagai badi Allah, pelayan Tuhan, maka sukacita kita melampaui penghargaan duniawi itu. Seperti kata Paulus, sukacitaku ialah memberitakan kebenaran Allah dan upahku ialah bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, karena upahku telah dibayar lunas ketika aku ditebus dan diselamatkan Allah.

Ketika semua orang pergi mengungsi meninggalkan kepulan asap Gunung Merapi, Seorang lelaki tua malah mendaki gunung itu mendekat ke pucuknya. Di sana ia melakukan ritual seperti tradisi seharusnya. Ia adalah Mbah Maridjan. Kalau kita bertanya, berapa sih gaji Mbah Maridjan? Rp. 5.600,-/bulan. Mengapa ia rela menjalankan tugas berbahaya tersebut? Alasannya sederhana, ada kebanggaan ketika ia dapat melayani kerajaan dan masyarakat.

Hal yang lebih besarsama dilakukan oleh Tuhan Yesus. Yang dilakukan oleh Mbah Maridjan hanya untuk sekelompok orang, tetapi Yesus berkarya untuk seluruh dunia. Dalam bacaan kita dikisahkan bahwa melayani orang banyak menjadi maksud kedatangan Yesus. Ia menyatakan kasih dan penebusan Allah bagi seluruh dunia. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang" (Mark. 1:38). Untuk mencapai misi itu, Yesus telah merendahkan dirinya dan mengambil rupa seorang hamba, taat kepada kehendak Allah sampai mati. Kristus meletakkan kehendak pribadinya, dan memikul kehendak Allah untuk mewujdukan kasih Allah kepada dunia.

Salah seorang penegak HAM tersohor yang pernah dimiliki Indonesia adalah Munir. Kita semua tahu bagaimana ia selalu berusaha menegakkan keadilan dan HAM. Tentu saja dalam semua perjuangan itu, Munir pasti banyak menerima ancaman/teror dari mereka yang merasa terancam. Namun semua itu tidak lantas mematikan pengabdiannya. Ia malah memilih untuk memperdalam talentanya untuk meningkatkan panggilan pelayanannya bagi masyarakat. Sampai pada akhirnya, Ia tetap menjadi seorang abdi bagi sesama.

Merawat suami atau isteri yang lumpuh dengan sukacita adalah wujud pengabdian kita kepada Sang Pencipta. Menjalankan panggilan gerejawi kita sebaik mungkin adalah wujud pengabdian kita kepada Kepala Gereja. Bekerja dengan jujur dan bersemangat adalah wujud pengabdian kita kepada Pengusaha Surgawi. Membela negara dan melayani rakyat adalah wujud pengabdian kita kepada Allah sumber segala kuasa. Dalam perumpamaan Yesus tentang Hamba Yang Setia, mungkin kita tidak dapat memberikan hasil 10 talenta, 5 talenta, atupun 2 talenta. Tetapi ketika kita mampu mempersembahkan 1 talenta saja kepada Allah, namun kalau kita persembahkan dengan sukacita, Allah berkata “Baik sekali perbuatanmu, hai kamu hambaku yang baik dan setia, engkau telah memikul tanggungjawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”

Tuesday, February 10, 2009

Cara Hidup

Hiduplah seperti pohon yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempari orang dengan batu tapi dibalas dengan buah-buah kehidupan.

Ketakutan

Rasa takut itu seperti orang, akan membesar jikalau kita memeliharanya. Bagaimana mengatasinya?

Sederhana: Lakukan apa yang paling kamu takutkan, kamu akan memperoleh keberanian setelahnya.

Keluarga Yang Saling Mengasihi

(Yohanes 15:9-17)

Perpisahan dengan orang yang terkasih biasanya adalah momen istimewa. Itulah sebabnya, pesan yang disampaikan pada momen itu juga istimewa, bersifat inti dan mendesak. Pesan itu sekaligus juga mewakili segala doa, harapan dan permintaan. Dalam konteks perpisahan yang mendesak inilah Yesus menegaskan pesan kepada para murid supaya mereka “saling mengasihi”. Inilah harapan, doa dan inti pesan terakhir Yesus kepada murid-murid-Nya bahwa saling mengasihi adalah keutamaan hidup orang beriman. Di Yoh 15:12, Tuhan Yesus berkata: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi; seperti Aku telah mengasihi kamu”. Karena begitu pentingnya pesan ini, Yesus berkali-kali mengungkapkannya seperti dicatat juga dalam Yoh. 13:34, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”

Benarkah ‘saling mengasihi’ merupakan perintah baru? Adakah sesuatu yang baru dari saling mengasihi? Sebenarnya perintah saling mengasihi bukanlah hal yang baru. Semua agama dan kepercayaan (termasuk yang lebih tua dari kekristenan) juga menekankan ajaran saling mengasihi. Kalau begitu, apakah yang baru dari saling mengasihi? Memahami perkataan Yesus di atas: sama seperti Aku mengasihi kamu adalah poin pertama, dan poin keduanya ialah demikian pula kamu harus saling mengasihi. Artinya, perintah mengasihi diwalai dengan pengalaman dikasihi. Para murid baru akan mampu mengasihi setelah mereka sendiri mengalami kasih Allah Kristus itu sendiri. Dasar, sumber atau inspirasi supaya orang mengasihi bukan karena orang itu hebat, lebih saleh, lebih suci dll, tetapi justru orang mengasihi karena dia sudah lebih dahulu dikasihi oleh Tuhan. Dengan demikian, perintah ini bukan sesuatu yang kosong, yang diberikan sebagai paksaan atau tanpa pengalaman. Kesadaran macam inilah yang membuat orang dapat masuk dalam pengalaman untuk mengasihi orang lain secara tulus tanpa pamrih.

Bagaimanakah cara Yesus mengasihi para murid:
1. Yesus mengasihi para murid tanpa memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Aspek ini lahir dari komitmen hati Yesus sendiri, bahwa Ia datang untuk melayani manusia (Luk 4:18-19). Banyak orang terlibat dalam perbuatan baik karena latar belakang yang berbeda-beda: ingin dipuji, tuntutan pekerjaan atau diminta/didesak orang lain. Oleh karena itu, setiap murid harus masuk dalam tindakan kasih dengan komitmen murnni yang berlandaskan kasih. Komitmen ini akan menjauhkan orang dari kepentingan dirinya sendiri.

2. Kasih Yesus kepada para murid berakar pada semangat pengorbanan. Kasih Yesus dinyatakan dengan penyerahan diri Yesus secara total demi pelayanan bagi sesama. Mengasihi orang lain perlu semangat kerendahan hati dan pengorbanan. Demi proses itu kadang kita harus berani “mematikan” kecenderungan-kecenderungan yang membuat kita merasa berbeda dengan orang lain. Kasih kepada orang lain tanpa pengorbanan adalah sesuatu yang sulit, kalau tidak bisa disebut mustahil.

3. Yesus mengasihi para murid-Nya dengan penuh pengertian. Yesus mengenal para murid dan para murid mengenal Dia. Hubungan mesra itu bisa terjadi kalau mereka tinggal bersama-sama dengan Dia (=hidup bersama dengan Yesus). Dalam kebersamaan itu mereka saling mengenal dan terbuka menerima satu sama lain. Suasana kasih bisa terwujud kalau orang saling mengenal, atau sekurang-kurangnya, kalau orang terbuka hatinya kepada sesama. Sifat curiga, dendam dan iri hati adalah lahan buruk untuk tumbuhnya suasana kasih itu.

4. Kasih Yesus kepada para murid bersifat mengampuni. Kalau kita amati kebersamaan Yesus dengan para murid kadang diwarnai oleh sikap tidak setia dari para murid; mereka meninggalkan Dia, mereka ragu-ragu dan sulit mengerti Yesus dengan baik; kadang mereka itu mencela dan protes pada Yesus. Tetapi Yesus tidak membenci mereka, Dia justru setia menerima dan sabar mendampingi mereka. Kasih yang sejati perlu ada unsur pengampunan. Memang benar kasih yang tidak belajar untuk mengampuni adalah kasih yang kering lalu mati.

Bagaimanakah kita bisa menjadi keluarga yang saling melayani? Pertama-tama ialah kita harus mengalami dahulu rasa dikasihi itu. Bahwa dikasihi itu sungguh indah. Kita menjadi berarti, berharga dan tidak sia-sia. Hidup kita menjadi penuh warna, rasa dan sahabat.

Oleh karena itu, ingatlah bahwa orang lain juga sangat merindukan pengalaman dan perasaan dikasihi itu. Mereka juga mau dinilai berharga, mereka juga mau menjadi orang yang berarti dan tidak sia-sia. Orang lain juga mau menjadi sahabat kita, diterima dengan tulus dan dikasihi tanpa pamrih. Bagaimanakah cara kita mengasihi sesama? Mungkin kita tidak dapat menolong 1000 orang, 100 orang atau 10 orang, 2 orang saja kita tolong dalam sehari, maka Tuhan akan sanga bersukacita. Mengampuni orang yang membentak kita akan membuat para malaikat bersorak-sorai dalam pujian. Tidak cuek kepada orang berarti telah member mereka berkat terbesar yaitu penerimaan yang tulus. Memberi senyum kepada bawahan/karyawan kita akan menjadikan mereka berarti. Mengucapkan terima kasih kepada anak karena menolong kita akan membuat hidup mereka bahagia. Dan, membawa orang lain dalam doa kita sungguh akan mendekatkan (hati) Tuhan kepada mereka. Selamat melayani. Immanuel.
Sabe Satta Bhavantu Shukitatta