PATHOS
Pathos is heart's movement to love God and others
Friday, December 28, 2012
Pandai Dalam Menyambut Suatu Akhir
Bertumbuh Di Dalam Rencana-Nya
Tuesday, December 18, 2012
Natal Di Belantara Kota
Hari Natal di depan mata
Gegap gempita semakin terasa
Hati dan jiwa bersukacita
Desember memang bulan yang luar biasa, seperti terungkap ucapan di atas. Lampu hias bertebaran di mana-mana. Dekorasi penuh warna didedikasikan bagi tibanya hari Natal. Lagu merdu nan riang menggema silih berganti. Begitu juga dengan hadiah-hadiah indah dijajakan secara terbuka. Tetapi pertanyaannya, apakah kemeriahan ini karena makna Natal yang penuh sukacita, ataukah karena tradisi dan jiwa manusia modern semata?
Dunia Yang Berubah
Dunia yang kita huni ini senantiasa bergerak dan berubah. Modernitas adalah wujud dan hasil perubahan itu. Pembangunan yang pesat dan teknologi yang mutakhir menandai masa keemasan zaman modern. Misalnya, manusia modern paling kentara terlihat dalam pemakaian teknologi. Orang yang gaptek (gagap teknologi) dengan mudah dicap wong deso atau kuno. Tetapi mereka yang dekat dengan teknologi disegani dan dihormati tanpa batas, bahkan dipuja sebagai manusia canggih.
Di era modern ini dunia terasa menjadi sangat kecil; sekalipun tidak selebar daun kelor, tetapi hampir seperti sebuah desa. Telekomunikasi yang mutakhir membuat jarak yang jauh seperti menyusut di depan mata. Teknologi membuat jargon connecting people menjadi sebuah realitas. Setiap orang terhubung begitu mudah. Kita bisa bertegur sapa dengan manusia di belahan dunia manapun, dalam waktu sangat singkat. Bahkan, kehebatan transportasi mampu menghantarkan manusia ke sisi manapun di bumi ini, bahkan juga luar angkasa.
Jejaring-jejaring sosial hadir dengan banyak keuntungan yang memuaskan. Email, Facebook, Twitter, Google membawa seluruh dunia lebih dekat pada kita. Bahkan, jejaring sosial elektronik hampir ‘menghancurkan’ seluruh kantor pos di perkotaan, sebab surat-menyurat tidak lagi menarik dalam relasi antar pribadi. Mengapa? Karena orang modern mengejar cara instan. Dengan cara itu juga mereka berusaha ‘menggenggam’ dunia dan menikmatinya dengan leluasa. Bahkan, terkadang dunia rasanya menjadi milik sendiri. Masing-masing asyik dengan dunianya: adik asyik main games, kakak terpana televisi, ayah sibuk BBM, ibu fokus update status. Dalam hal ini, terjadi kontradiksi yang sangat tajam: dunia yang jauh menjadi dekat, tetapi yang dekat terasa menjadi sangat jauh.
Pada sisi lain, pembangunan dengan pesat menyempurnakan modernitas. Gedung-gedung pencakar langit tanpa henti didirikan untuk mendukung kemajuan ekonomi. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan seperti mall, supermarket, minimarket, cafe dan bioskop tumbuh menjamur memanjakan keinginan manusia yang tidak terkendali. Rekreasi tidak lagi dipusatkan di belantara alam, tetapi di belantara kota yang gemerlap tanpa pernah padam.
Natal Yang Berubah
Lalu, bagaimanakah wajah Natal di era modern ini? Ternyata, era modern tidak saja mampu mengubah wajah dunia dan manusia, tetapi juga wajah Natal yang mulia. Natal di belantara kota tidak lepas dari tampilan kemeriahan. Dunia fokus pada simbol-simbol Natal. Tengok saja, semua orang sibuk merias perkantoran, rumah dan tempat perbelanjaan untuk menyambut Natal. Natal penuh semarak dan seolah menjadi milik semua orang.
Di era ini, Natal bukan lagi sebuah perayaan kesederhanaan, tetapi ajang pamer kegemerlapan. Natal bagaikan fashion show yang mengedepankan penampilan dan aksesoris. Semua orang berlomba mempertunjukkan kebolehan, baik dalam menata suasana rumah, memburu hadiah terindah, memasak makanan ternikmat, maupun memanjar lokasi terindah untuk libur panjang. Prestisius, adalah kata yang pas untuk perayaan Natal di era ini.
Perayaan Natal di gereja bisa lebih mengejutkan lagi. Panitia biasanya mengalami tekanan besar menjelang Natal. Mereka memikirkan paduan suara, drama, opera, tari-tarian, artis terkenal, musik yang sempurna, hadiah istimewa, pohon Natal versi baru, pelayanan masyarakat, dan sejumlah kegiatan lainnya. Bahkan, tidak jarang terjadi perselisihan dalam persiapan semua itu. Mengapa? Karena orang modern selalu menuntut perayaan Natal yang menarik. Kisah Maria dan kandang domba sudah terlalu membosankan. Para gembala dan malaikat pun menjadi sulit dibayangkan. Orang Majus juga tidak lagi dikagumi, karena mereka sudah dianggap terlalu tua dan kuno.
Orang modern mencari Natal yang kreatif dan atraktif. Natal yang menarik harus memuat pertunjukan. Natal harus entertaining. Heboh. Meriah. Akibatnya, Natal identik dengan pesta pora. Orang modern lebih mencari kesenangan ketimbang ketenangan. Mereka mencari acara bagus, bukan ‘bayi Yesus’. Natal dinanti karena adanya pesta, bukan anugerah Allah yang dinyatakan di dalamnya.
Natal di belantara kota cenderung menyesatkan kita pada kenikmatan dan hura-hura, sehingga kesederhanaan dan belarasa Kristus bagi manusia semakin dilupakan saja. Itulah yang membuat Natal kehilangan makna. Segera setelah Desember lewat, kesibukan pun berakhir. Simbol-simbol Natal hilang, sukacitanya pun pergi. Apa yang tersisa? Barangkali, jawabnya bisa sangat menyedihkan. Tidak ada yang tersisa. Hati kosong, tetap kosong dan bahkan semakin kosong. Dalam kondisi demikian, Natal bukan saja menjadi tidak bermakna, tapi bahkan sesat makna.
Natal Bagi Manusia Modern
Natal adalah lawatan Allah. Natal adalah wujud kepedulian Allah kepada dunia. Di situ terbukti usaha Allah mencari, menyelamatkan, dan menerima manusia apa adanya. Allah bahkan hadir dalam kesahajaan sebagai bukti keberpihakan kepada kita. Inilah makna dari Natal: Immanuel, Allah beserta kita.
Dengan begitu, Natal mengajak kita untuk selalu berefleksi. Kita kembali mengoreksi diri agar menjauh dari sifat rakus dan tamak akan budaya hedonis. Terlalu banyak orang yang digerogoti nafsu diri yang tidak terkendali. Karena itu, Natal mengajar kita untuk mampu menahan diri. Natal sangat lekat dengan nilai kesederhanaan. Di tengah dunia yang condong menonjolkan diri, kita diajar melepas kemewahan. Di tengah gaya hidup yang gemerlap, kita diajar mengosongkan diri. Ingat, Tuhan Yesus adalah satu-satunya pribadi yang bisa memilih tempat di mana Ia dilahirkan, dan ia memilih lahir di palungan. Itu berarti, kesederhanaan dan kerendahan hati mestilah juga meresapi hidup kita.
Tidak hanya itu, Natal secara khusus membawa kita bersatu dengan Kristus. Ini ditandai dengan kesediaan diilhami oleh teladan-Nya yang sempurna. Teladan seperti apa? Teladan Yesus yang hidup mengasihi, yang merobek dunia yang penuh kebencian dan persaingan. Teladan Yesus yang rela berkorban, yang mampu mengikis keegoisan diri. Semangat Yesus dalam memberi diri, yang mengajar kita untuk selalu berbagi dengan sesama. Teladan seperti ini sangat mendesak untuk kita miliki, khususnya di tengah belantara kota dengan manusia yang semakin egois dan sukar peduli ini.
Lalu, apa artinya kemajuan teknologi? Modernitas memang tidak akan terbendung. Tetapi kita bisa memberdayakannya sedemikian rupa. Kemajuan teknologi harus membuat kita mampu menjangkau orang-orang yang jauh, sehingga dapat menghayati kasih Natal bersama-sama. Saat ini, tidak ada lagi alasan untuk tidak berkomunikasi. Tidak ada alasan untuk sulit berelasi, karena dunia sudah menyediakan jalan-jalannya. Tinggal bersediakah kita menjadikannya peluang membangun diri, keluarga, gereja dan masyarakat melalui kasih Natal yang terus kita bagikan?
Selamat Hari Natal.
Immanuel.
Indahnya Berempati Terhadap Mereka Yang Lemah
Wednesday, July 14, 2010
Melayani dengan Sukacita dan Sukarela
Saudara tentu pernah menyambut tamu di rumah, bukan? Masih ingatkah apa yang saudara lakukan saat itu? Banyak orang sengaja merepotkan diri berbelanja, memasak, pulang kerja lebih cepat dan merapikan rumah yang selama ini berantakan, hanya agar dapat menyambut tamu dengan kehangatan maksimal. Jelas ini wujud kasih yang besar terhadap tamu-tamu kita. Ketika dikunjungi Tuhan Yesus di rumahnya, Marta melakukan hal yang sama pula. Sebagai tuan rumah yang baik, Marta juga repot-repot menghidangkan sesuatu untuk Tuhan Yesus.
Siapapun akan senang menerima sambutan hangat seperti ini. Saya yakin Tuhan Yesus pun demikian. Lalu kenapa kemudian nampak ada persoalan di dalam pertemuan itu? Kenapa di akhir cerita Tuhan Yesus nampak lebih menghargai Maria daripada Marta?
Rasanya Marta dan Maria masing-masing telah melakukan tugas dengan benar. Yang seorang menemani Tuhan Yesus, yang lain menyiapkan hidangan. Bayangkan betapa hausnya Tuhan Yesus jika Maria dan Marta hanya mendengarkan-Nya berbicara. Tetapi juga betapa kasihannya Dia jika ditinggal sendirian di ruang tamu, sementara tuan rumah sibuk memasak di dapur. Jadi, baik Maria maupun Marta patut dihargai karena kesigapan masing-masing. Sambutan dan pelayanan mereka itu sudah hampir sempurna.
Hanya saja ada satu kekurangan, dan itu muncul dari Marta. Bukan karena pekerjaannya, tetapi sikapnya pada saat sibuk. Ketika mulai kewalahan melayani, mulai jugalah Marta cemburu dan iri kepada adiknya, Maria, yang hanya duduk mendengar Tuhan Yesus. Ia merasa bekerja sendiri, sibuk sendiri dan capek sendiri, sementara yang lain santai seolah tak peduli. Cemburu dan iri hati ini kemudian melahirkan kemarahan. Sekalipun halus, namun dirasakan Yesus sehingga Ia menasehati dengan lembut: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Paduan cemburu, iri hati dan kemarahan itulah yang kemudian merenggut sukacita dan kerelaan Marta dalam melayani. Sukacitanya berganti sungut-sungut. Kerelaan menjadi tuntutan. Pelayanan berubah menjadi pekerjaan, yang dilakukan separuh hati.
Jika harus jujur, Saya akan mengakui sulitnya merasakan sukacita dalam beberapa kesempatan pelayanan. Pernahkah saudara merasa hal yang sama? Pelayanan berjalan begitu saja. Tidak terasa. Tidak menyapa. Juga tidak mengubah apa-apa (siapa-siapa). Sebaliknya, saat itu kita malah menggerutu, terpaksa dan kesal. Ingin rasanya pelayanan itu lekas selesai, lalu pulang ke rumah dan segera beristirahat.
Menganalisa pengalaman ini, kita bisa menemukan beberapa pencuri sukacita itu. Pertama, sukacita hilang ketika kita merasa tidak ada yang peduli dengan pelayanan kita. Kita seolah bekerja sendiri, tidak dipandang dan juga tidak mendapat pertolongan. Hati kita menjadi hambar. Kedua, sukacita hilang ketika kita merasa pelayanan orang lain lebih ringan daripada pelayanan kita. Kita suka membanding-bandingkan. Kita mulai berpikir iri: “Mereka hanya rapat dan rapat, sementara kami yang menjalankan. Eeh… malah enak-enakan kasih komentar”. Ketiga, sukacita hilang ketika hati kita tidak lagi fokus pada pihak yang kita layani. Sukacita Marta hilang karena ia hanya memikirkan berat pekerjaannya, yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Akibatnya, penghargaannya berkurang pada Tuhan Yesus yang hanya duduk dan ngobrol dengan Maria.
Sikap Marta ini dinilai sebagai tindakan menyusahkan diri sendiri, sebab bukan makanan yang dicari Tuhan Yesus, melainkan persekutuan. Persekutuan itu terjalin antara Tuhan Yesus dan Maria, dan itu lebih utama daripada makanan jasmani; sebab manusia hidup bukan dari roti saja tetapi terlebih oleh firman Tuhan yang mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang telah mati.
Saudara, melayani tanpa sukacita itu melelahkan. Melayani tanpa kerelaan itu merugikan. Melayani tanpa memandang kepada Tuhan tentulah juga sia-sia. Jika begini terus kita hanya mendapat kekecewaan dan kepahitan hati. Oleh karena itu, mari berikan hati kita kepada Tuhan sepenuhnya. Hanya dengan begitu, kita akan mampu melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan semata untuk manusia. Dengan begitu pula, maka tidak ada lagi ruang untuk kecemburuan, iri hati dan kemarahan. Selamat melayani dengan rela dan sukacita. Amin.
Friday, July 9, 2010
Firman Tuhan dan Keberuntungan
Pencari Keberuntungan
Bicara soal beruntung dan apes, mujur dan sial, hoki dan sue (dua hal yang saling bertentangan) kira-kira mana yang lebih sering kita alami? Rasanya pengalaman tiap orang berbeda-beda, yach? Ada yang lebih banyak merasakan untung: keluar dari gerbang, di tengah jalan, di depan gereja, pas kebaktian ketemu yang cakep-cakep. Ada yang merasa lebih banyak mengalami apesnya: keluar dari rumah injak yang kuning (pisang), di jalan di senggol motor, nyampe di gereja kesirem air, kebaktian pembicaranya keren. Jadi, tiap orang berbeda.
Tetapi, seandainya Tuhan meminta kita memilih antara untung dan sial, hoki dan apes, tentu semua orang akan memilih untuk hoki terus. Tidak ada yang berniat memilih apes, sengsara dan sue terus. Tapi sayangnya Tuhan tidak pernah meminta kita untuk memilih demikian. Akibatnya manusia mencari caranya sendiri untuk menghindari kesialan itu, dan sebaliknya mengundang keberuntungan mendekat: memberi Nama bagus: Lucky, Tjwan, Untung dan Bejo. Memilih Warna: suka pake warna merah (sepatu, baju, barang dagangan, topi, ban dalam = lebay). Memilih Nomor cantik: rela beli no tlp seharga jutaan rupiah. Di Hongkong, seorang pria rela membayar lebih dari lima ratus juta rupiah untuk membeli plat mobil bernomor CCUE (baca: see see you yee). Dalam bahasa Kanton, kata-kata itu berarti “semua berjalan menurut keinginan seseorang”. Pemiliknya percaya, jika mengendarai mobil berplat nomor itu, keberuntungan menyertainya ke mana pun ia pergi. Ada juga yang mengusahakan keberuntungan lewat Fengshui: hindari rumah bernomor 4 dan 13 (4: D = Die, Death atau Si = mati).
Belajar dari Pengalaman Israel
Sampai di sini kita patut bertanya: Dari manakah datangnya keberuntungan itu? Siapakah yang memberikan keberuntungan itu? Siapakah yang membuat hidup kita beruntung dan bahagia?
Ternyata kecenderungan mencari jalan peruntungan menurut pikiran manusia sendiri tidak hanya terjadi di masa ini. Bangsa Israel pun berkali-kali mencoba mencari peruntungan menurut jalan pikiran mereka sendiri. Mereka membuat patung lembu emas, yang dikenal sebagai dewi kesuburan (berharap kemakmuran dan kesuburan akan berpihak kepada mereka) dan mereka pergi kepada tukang-tukang tenung (untuk mengetahui nasib mereka). Atas kecenderungan Israel ini, Tuhan berirman melalui Musa: TUHAN, Allahmu, akan melimpahi engkau dengan kebaikan dalam segala pekerjaanmu, dalam buah kandunganmu, dalam hasil ternakmu dan dalam hasil bumi; TUHAN akan bergirang karena engkau dalam keberuntunganmu (Ul 30:9).
Ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan keberuntungan hidup datangnya dari Tuhan. Keuntungan hidup yang sesungguhnya ada di dalam Tuhan. Hidup yang berkemenangan hanya terjadi di bersama Tuhan. Di luar Tuhan bangsa Israel tidak dapat berbuat-apa-apa. Di luar Tuhan kita tidak akan mendapat apa-apa, selain kekecewaan dan kefanaan hidup. Di dalam Ul 30:10, dikatakan bahwa untuk memperoleh hidup yang beruntung itu Israel cukup memenuhi satu hal: yakni mereka mendengar suara Tuhan dan memelihara firman itu dengan segenap hati mereka. Karena ketika mereka memelihara firman Tuhan, maka sesungguhnya mereka sedang membiarkan diri dipimpin oleh kehendak dan rencana Tuhan. Dan, rencana Tuhan itu selalu adalah rancangan yang baik, rancangan damai sejahtera, dan bukan rancangan kecelakaan. Firman Tuhan itulah yang membwa Israel kepada penggenapan janji-janji Allah itu.
Ini berarti, dari sudut pandang iman, keberutungan hidup tidak datang dari angka cantik, dari nama yang bagus, atau dari bentuk dan posisi rumah kita. Mengatakan keberuntungan datang dari nomor, warna dan posisi rumah sama saja dengan membangun kembali konsep bangsa Israel yang mengira keberuntungan datang dari sebuah patung mati dan tak berdaya. Dan itu jelas pemberhalaan dan pemberontakan terhadap kehendak Allah dan firman-Nya.
Mengejar Keberuntungan Kekal
Mungkin ada yang bertanya skeptis: Saya sudah puluhan tahun menjadi orang Kristen, hidup setia, rajin beribadah, dagang tidak pernah curang, selalu jujur, harga tidak dilebih-lebihkan, tetapi kenapa hidup saya tetap susah. Kenapa hidup Saya tetap pas-pasan?
Keberuntungan itu ada dua macam. Keberuntungan semu dan keberuntungan kekal. Misalnya begini. Suatu ketika seorang pemuda pergi ke sebuah toko bunga untuk membeli bunga bagi kekasihnya. Sampai di toko bunga ia mulai berkeliling mencari bunga yang paling indah. Matanya berhenti di sebuah pot dengan tanaman bunga cantik di atasnya. Tanpa pikir panjang, si pemuda itu langsung menawar: “Pak bunga ini berapa?” “Kalo sama potnya 70 rb”, jawab si pedagang. “Nggak pak, saya beli bunganya aja” kata si pemuda. “Sayang dek. Ya udah bayar bunganya aja, pot dan pohonnya gratis”. “Nggak pak, bunganya aja, saya perlu bunganya”. Akhirnya si pemuda itu memaksa untuk membeli bunganya saja dan dengan senang dia pergi dan memberikannya kepada kekasihnya. Dua hari kemudian bunga itu telah menjadi layu.
Keberuntungan semu adalah keberuntungan yang bersifat sementara: keberuntungan yang dirasakan karena hal-hal yang nampak oleh mata. Ada yang melihatnya dalam wujud materi: omset dagang terus meningkat dan tidak pernah turun, sekali ikut tarohan bola langsung menang, dapat bonus mendadak, menemukan uang di tengah jalan ketika dompet sedang kosong. Ada juga yang melihatnya dalam wujud jabatan: terpilih promosi jabatan dari sekian banyak karyawan yang tidak terpilih, atau seseorang menawarkan pekerjaan ketika kita sedang pengangguran. Ada juga yang melihatnya dalam wujud kesempurnaan diri/fisik: Saya beruntung karena fisik saya lebih lengkap dibandingkan orang cacat. Saya beruntung karena lebih tampan/cantik dari orang lain. Saya lebih beruntung karena lebih tinggi, dll.
Benar semua itu adalah bentuk keberuntungan, yang kita peroleh dari Tuhan. Tetapi kita harus menyadari bahwa berkat Tuhan tidak hanya sebatas soal materi, jabatan dan penampilan fisik. Berkat Tuhan tidak boleh dibatasi pada hal-hal semu dan yang nampak semata. Tuhan tidak ingin kita hanya mencari bunga (yang indah dan enak saja), tetapi Dia ingin kita memiliki pohonnya. Tuhan mau kita memiliki sumbernya, sumber keberuntungan itu sendiri. Tuhan mau kita memelihara pohon keberuntungan itu, yaitu Firman Tuhan, yang membuat kita tidak hanya berbunga, tetapi juga berbuah di dalam kehidupan kita. Itulah keberuntungan kekal.
Bahagia Karena Melakukan Firman Tuhan
Dalam kisah Orang Samaria yang Baik Hati in kita lihat betapa keras Tuhan Yesus menegur orang-orang Yahuid, yang diwakili oleh iman dan lewi, yang hanya mencari bunga, yang hanya mencari keuntungan semu dalam wujud jabatan, status, kehormatan dan kekayaan, tetapi mengabaikan keberuntungan kekal. Mereka rajin beribadah dan mendapatkan upahnya dihargai. Mereka mengetahui firman Allah dan mendapatkan keuntungan dengan dihormati. Mereka beruntung dengan jabatan dan status tinggi karena menjadi pemimpin umat, tetapi mereka sendiri kehilangan sumber kehidupan sejati. Mereka tidak memelihara pohon keabadian. Mereka tidak memelihara firman Allah.
Sebaliknya dalam sosok Orang Samaria Yang Baik Hati, kita menemukan satu hal penting bagi hidup beriman kita. Kebahagiaan sejati tidak terletak di dalam jabatan dan kepura-puraan, kehormatan dan kemunafikan. Kebahagiaan sejati terletak pada hidup yang dikendalikan oleh kehendak Allah. Kebahagiaan sejati terletak pada orang yang hidup dan langkahnya diatur oleh Tuhan. Sukacita sejati didapat ketika kita mampu melakukan kehendak Tuhan seturut firman-Nya. Kebahagiaan orang Samaria itu terletak bukan karena akan mendapatkan imbalan atau balas budi dari orang yang ditolongnya itu, tetapi justru karena ia dapat melayani Tuhan dengan melayani sesama. Berbahagia karena masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan mengasihi sesama.
Tuhan Yesus menyebutnya memiliki kehidupan kekal, kebahagiaan kekal, keberuntungan kekal, karena ia memelihara Firman Tuhan. firman itulah yang menuntunnya untuk hidup penuh kasih, hidup penuh syukur, hidup berkemenangan, hidup yang tidak dikuasai oleh kesusahan hati, kekuatiran, kecurangan, dan iri hati akan hal-hal duniawi.
Penutup: Ilustrasi FU
Setiap Hari Raya Imlek tiba, salah satu pemandangan unik yang bisa diperhatikan dengan jelas ialah dekorasinya yang indah dan serba merah. Di antara pernak-pernik dekorasi itu, umumnya keluarga Tionghoa akan menempelkan karakter Mandarin 福 (Fu) di pintu rumah mereka – yang berarti kebahagiaan/berkat. Kebanyakan orang tahu bahwa Fu ini berarti kebahagiaan, tetapi tidak mengetahui arti terdalam dari karakter FU ini. FU terdiri dari 3 kata:
= Tuhan + Satu Keluarga + Kebun/ladang = Kebahagiaan
Di sini kita pun belajar bahwa kebahagiaan dan berkat kita peroleh ketika kita hidup bersekutu dengan Tuhan. kebahagiaan kekal tidak ada di luar Tuhan. Kebahagiaan ada ketika kita memiliki hubungan intim dengan Tuhan. Kita diingatkan dengan kisah Adam dan Hawa di taman Eden. Kebahagiaan, keberuntungan dan hidup yang sempurna mereka nikmati ketika hidup bersekutu dengan Tuhan, dan selama mereka memelihara firman Tuhan. sebaliknya, malapetaka dan bencana akan melanda kita ketika kita melanggar dan memberontak terhadap titah Allah. Untuk itu kita mesti belajar selalu untuk terlebih dahulu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya (keberuntungan lainnya) akan ditambahkan kepada kita. Amin.
Sabe Satta Bhavantu Shukitatta