(Mik 5:2-5, Mzm 80:2-8, Ibr 10:5-10, Luk 1:39-45 [46-55])
Jurang sosial
antara kaya dan miskin, kuat dan lemah, berkuasa dan tidak berkuasa, memang
menjadi persoalan sepanjang masa. Kesenjangan ini telah menumbuhkan iri hati
dan kecemburuan pada satu pihak, tetapi juga antipati dan penolakan di pihak
yang lain. Ketegangan seperti inilah yang membekukan aliran kasih dan
kebersamaan di banyak komunitas, baik gereja, masyarakat maupun negara.
Akibatnya, tatanan hidup semakin terkotak-kotak dengan jiwa yang bertambah
individualistis.
Nabi Mikha
hadir di tengah situasi seperti ini. Ketidakadilan marak di seluruh negeri.
Para penguasa dan orang kaya hidup mementingkan diri sendiri. Kemiskinan
menjadi tontonan biasa yang tidak lagi menggetarkan rasa iba. Bahkan, orang
lemah diperalat demi pencapaian ambisi diri. Di sisi lain, relasi dengan Allah
hancur karena ketidaksetiaan umat yang terang-terangan membawa korban kepada
berhala, mempraktikkan pelacuran di kuil-kuil, melakukan tenung dan sihir.
Itulah sebabnya Allah menolak mereka (Mi 3). Mikha mengingatkan bahwa Mesias
akan datang dan mendirikan kerajaan-Nya. Dengan kekuatan dan kemegahan nama
Tuhan Ia akan menggembalakan umat-Nya (ayat 3). Ia akan membinasakan para
pembuat kejahatan dan membela orang-orang yang tertindas.
Ternyata, angin
keangkuhan dan ketidakpedulian telah menghempaskan kasih Allah dari hati orang
percaya, sehingga mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama
seperti diri sendiri tinggal sebatas mimpi. Malah berkembang sikap masa bodoh,
cuek dan selalu berburuk sangka. Tatapan kita tidak lagi penuh empati, malah
menjadi lirikan sinis yang membutakan hati.
Catatan
“Pemulung dilarang masuk” atau “Mengamen gratis” yang terpampang di sejumlah
tempat rasanya bukan sebuah keisengan, melainkan sikap terbuka atas penolakan
terhadap orang miskin dewasa ini. Keberadaan mereka tidak dikehendaki,
kehadiran mereka dicurigai, tingkah laku mereka dinilai selalu merepotkan.
Akibatnya, orang miskin menjadi semakin miskin, karena penolakan terhadap mereka
telah menutup pintu peluang untuk berkarya. Orang lemah menjadi semakin lemah,
karena mereka tidak saja dianggap manusia kelas rendahan, tetapi juga diperdaya
(dieksploitasi) oleh orang yang lebih berkuasa.
Allah prihatin
dengan ketidakadilan seperti ini. Keprihatinan itu diwujudkan di dalam Kristus,
yang memilih hadir di tengah-tengah keluarga sederhana. Pilihan itu menunjukkan
keberpihakan nyata atas manusia lemah. Ia tidak memilih rumah yang mewah
sebagai tempat tinggal, melainkan keluarga yang memelihara kesucian,
kesederhanaan dan kerendahan hati.
Saat
mengunjungi Elisabet, kerendahan hati Maria teruji karena ia tidak menjadi
angkuh setelah mengandung Putra Allah. Ia tetap rendah hati. Sapaannya yang
penuh kasih didengar tidak saja oleh Elisabet, melainkan juga oleh Yohanes yang
dikandungnya. Jiwa mereka melonjak kegirangan, sehingga Elisabet berkata penuh
haru, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Ungkapan
ini juga memuat kerendahan hati bahwa ia bukanlah siapa-siapa, lalu memuji bayi
yang dikandung Maria sebagai yang terbesar.
Beginilah
indahnya hidup saling berempati dan saling mengasihi, di mana kasih Allah tidak
saja dialami melainkan juga dibagikan dalam seluruh sikap hidup. Keluarga Allah
adalah keluarga yang saling memedulikan dan menopang satu sama lain.
Eksistensi gereja sesungguhnya tidak lepas
dari keberadaan kaum marjinal di sekitarnya. Selama gereja berdiri, mereka
harus berdiri untuk membela orang lemah; sebagaimana Kristus, Sang Kepala
Gereja, membela mereka sampai mati. Orang-orang yang terabaikan oleh dunia
harus menjadi perhatian orang percaya, itulah panggilan dan perutusan mereka.
Itu berarti ada kesediaan untuk selalu menyuarakan keadilan di tengah
ketidakadilan dan menyatakan kasih di tengah dunia yang kehilangan arti kasih.
Kemiskinan yang
sesungguhnya bukan karena ketiadaan materi, melainkan kekosongan kasih di dalam
hati. Kemiskinan material masih akan terobati dengan kekayaan hati nurani,
tetapi kemiskinan hati nurani tidak akan terobati oleh kelimpahan materi
sekalipun. Oleh karena itu, biarlah makna Natal ini semakin memampukan kita
menikmati arti kasih dan selalu tergerak untuk menyatakannya melalui sikap,
perbuatan dan pemberian yang penuh dengan empati kepada sesama.
No comments:
Post a Comment