Tuesday, December 18, 2012

Indahnya Berempati Terhadap Mereka Yang Lemah

(Mik 5:2-5, Mzm 80:2-8, Ibr 10:5-10, Luk 1:39-45 [46-55])

Jurang sosial antara kaya dan miskin, kuat dan lemah, berkuasa dan tidak berkuasa, memang menjadi persoalan sepanjang masa. Kesenjangan ini telah menumbuhkan iri hati dan kecemburuan pada satu pihak, tetapi juga antipati dan penolakan di pihak yang lain. Ketegangan seperti inilah yang membekukan aliran kasih dan kebersamaan di banyak komunitas, baik gereja, masyarakat maupun negara. Akibatnya, tatanan hidup semakin terkotak-kotak dengan jiwa yang bertambah individualistis.

Nabi Mikha hadir di tengah situasi seperti ini. Ketidakadilan marak di seluruh negeri. Para penguasa dan orang kaya hidup mementingkan diri sendiri. Kemiskinan menjadi tontonan biasa yang tidak lagi menggetarkan rasa iba. Bahkan, orang lemah diperalat demi pencapaian ambisi diri. Di sisi lain, relasi dengan Allah hancur karena ketidaksetiaan umat yang terang-terangan membawa korban kepada berhala, mempraktikkan pelacuran di kuil-kuil, melakukan tenung dan sihir. Itulah sebabnya Allah menolak mereka (Mi 3). Mikha mengingatkan bahwa Mesias akan datang dan mendirikan kerajaan-Nya. Dengan kekuatan dan kemegahan nama Tuhan Ia akan menggembalakan umat-Nya (ayat 3). Ia akan membinasakan para pembuat kejahatan dan membela orang-orang yang tertindas.

Ternyata, angin keangkuhan dan ketidakpedulian telah menghempaskan kasih Allah dari hati orang percaya, sehingga mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri tinggal sebatas mimpi. Malah berkembang sikap masa bodoh, cuek dan selalu berburuk sangka. Tatapan kita tidak lagi penuh empati, malah menjadi lirikan sinis yang membutakan hati.

Catatan “Pemulung dilarang masuk” atau “Mengamen gratis” yang terpampang di sejumlah tempat rasanya bukan sebuah keisengan, melainkan sikap terbuka atas penolakan terhadap orang miskin dewasa ini. Keberadaan mereka tidak dikehendaki, kehadiran mereka dicurigai, tingkah laku mereka dinilai selalu merepotkan. Akibatnya, orang miskin menjadi semakin miskin, karena penolakan terhadap mereka telah menutup pintu peluang untuk berkarya. Orang lemah menjadi semakin lemah, karena mereka tidak saja dianggap manusia kelas rendahan, tetapi juga diperdaya (dieksploitasi) oleh orang yang lebih berkuasa.

Allah prihatin dengan ketidakadilan seperti ini. Keprihatinan itu diwujudkan di dalam Kristus, yang memilih hadir di tengah-tengah keluarga sederhana. Pilihan itu menunjukkan keberpihakan nyata atas manusia lemah. Ia tidak memilih rumah yang mewah sebagai tempat tinggal, melainkan keluarga yang memelihara kesucian, kesederhanaan dan kerendahan hati.

Saat mengunjungi Elisabet, kerendahan hati Maria teruji karena ia tidak menjadi angkuh setelah mengandung Putra Allah. Ia tetap rendah hati. Sapaannya yang penuh kasih didengar tidak saja oleh Elisabet, melainkan juga oleh Yohanes yang dikandungnya. Jiwa mereka melonjak kegirangan, sehingga Elisabet berkata penuh haru, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Ungkapan ini juga memuat kerendahan hati bahwa ia bukanlah siapa-siapa, lalu memuji bayi yang dikandung Maria sebagai yang terbesar.

Beginilah indahnya hidup saling berempati dan saling mengasihi, di mana kasih Allah tidak saja dialami melainkan juga dibagikan dalam seluruh sikap hidup. Keluarga Allah adalah keluarga yang saling memedulikan dan menopang satu sama lain.

 Eksistensi gereja sesungguhnya tidak lepas dari keberadaan kaum marjinal di sekitarnya. Selama gereja berdiri, mereka harus berdiri untuk membela orang lemah; sebagaimana Kristus, Sang Kepala Gereja, membela mereka sampai mati. Orang-orang yang terabaikan oleh dunia harus menjadi perhatian orang percaya, itulah panggilan dan perutusan mereka. Itu berarti ada kesediaan untuk selalu menyuarakan keadilan di tengah ketidakadilan dan menyatakan kasih di tengah dunia yang kehilangan arti kasih.

Kemiskinan yang sesungguhnya bukan karena ketiadaan materi, melainkan kekosongan kasih di dalam hati. Kemiskinan material masih akan terobati dengan kekayaan hati nurani, tetapi kemiskinan hati nurani tidak akan terobati oleh kelimpahan materi sekalipun. Oleh karena itu, biarlah makna Natal ini semakin memampukan kita menikmati arti kasih dan selalu tergerak untuk menyatakannya melalui sikap, perbuatan dan pemberian yang penuh dengan empati kepada sesama.

No comments:

Post a Comment

Sabe Satta Bhavantu Shukitatta