Wednesday, April 7, 2010

Mimbar dan Pendeta

Mimbar lazim juga diasosiasikan sebagai pelayan firman (dalam hal ini pendeta). Pernah mendengar orang berkata, “Jika yang di mimbar si A yang hadir 500 orang, tetapi jika si D hanya perpuluhan dari angka yang pertama”? Ini menunjukkan bahwa besaran dampak mimbar bagi jemaat ditentukan oleh wujud pribadi penggunanya. Mengapa? Sebab mimbar adalah wujud lain dari diri pendeta dan pemimpin jemaat.

Pertanyaannya, bagaimana supaya mimbar selalu digemari dan dibutuhkan? Bagaimana mempertahankan kerinduan jemaat untuk tetap interest mengunjungi dan diubahkan melalui mimbar? Tentu saudara tahu jawaban terbaiknya, yakni mempertahankan kekuatan penggunanya. Di dalamnya termasuk kekuatan iman, nilai dan teladan diri.


a. Kekuatan Iman

Seorang pendeta terkenal dengan imannya. Seorang binaragawan terkenal dengan kekuatan ototnya dan seorang ilmuwan dengan daya otaknya. Demikian pula keteguhan iman adalah milik pusaka hamba-hamba Tuhan.

Pasti terbersit di benak saudara untuk bertanya apakah ada pendeta yang bisa diragukan imannya. Jawabannya tergantung apakah saudara percaya atau tidak. Mircea Eliade, pemikir Kristen itu, rasanya benar ketika berkata bahwa manusia adalah makhluk yang suka memakai topeng. Rasanya terlalu banyak orang yang hidup munafik di dunia ini. Kekerasan hati dibungkus raut wajah yang lembut. Egoisme diri dibalut senyum yang dipaksa. Kebencian sedikit dikaburkan dengan keramahan sikap, dan keragu-raguan ditutupi ibadah yang kronologis semata. Dari banyaknya orang seperti itu, tidakkah saudara ragu diantaranya ada juga hamba-hamba Tuhan.

Saya tidak sedang memaksa saudara untuk mengakui itu ataupun menuduh nama tertentu. Tetapi saya mau katakan bahwa begitu banyak orang Kristen, termasuk pendeta sekalipun, yang masih meragukan imannya sendiri. Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadikan kemampuan diri sendiri sebagai pertahanan terakhir, bukan Tuhan. Mereka mengandalkan diri sendiri, memperjuangkan ideologi, selera dan kepentingan pribadi serta menumpuk kemuliaan bagi nama diri sendiri. Di sini iman menjadi sangat samar, kalau terlalu berat untuk mengatakannya telah sirna.

Padahal, seorang pendeta mestilah dikagumi karena keteguhan imannya. Ia beriman teguh, sehingga dipanggil untuk meneguhkan iman jemaat. Ia berpengharapan, sehingga bertugas menumbuhkan pengharapan orang lain. Ia percaya dan mempercayakan diri kepada Tuhan. Ia tidak akan memulai sebuah perdebatan yang mempertanyakan keberadaan pribadi Allah, ataupun pokok ketuhanan Yesus. Sebaliknya, ia bekerja keras siang malam untuk memperjumpakan siapapun dengan Tuhan, seperti yang ia sendiri sudah alami.

Ia beriman kepada kuasa, kasih dan kehadiran Allah. Ia percaya kepada pemeliharaan dan rancangn-rancangan indah Allah. Ia tidak takut hari esok ataupun meragukan jalan hidupnya. Dalam ketergantungan kepada Tuhan ia belajar mengorbankan selera, pandangan dan kepentingan diri, serta menjadi semakin taat kepada kehendak-Nya. Kekuatan iman inilah yang kelak menjadi dampak besar bagi pertumbuhan dan pembaruan hidup jemaat.


b. Kekuatan nilai

Iman rasanya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan pembentukan nilai-nilai diri, bagaikan turunan rumus untuk mencapai hidup yang berkemenangan. Iman selalu menghasilkan nilai-nilai hidup yang terdalam dan terpenting.

Sebagai contoh, iman kepada Kristus akan membimbing kita meraih kerendahan hati. Rendah hati ialah usaha menundukkan hati serendah-rendahnya di hadapan Tuhan dan sesama. Ini merupakan upaya memiliki hati seperti Kristus: ”...yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7). Menjadi hamba berarti mengosongkan diri dari semua keburukan hati yang menghalangi kita untuk mengasihi tanpa batas. Orang yang rendah hati tidak pernah meremehkan orang lain (Mat 7:3-5; Yoh 8:48), tetapi sangat respek terhadap siapapun. Menghargai mereka bukan karena sesuatu yang ingin kita dapatkan, melainkan karena ingin menempatkan mereka pada nilai yang sepatutnya. Sebaliknya, kesombongan dan tinggi hati adalah pelita orang fasik (Ams 21:4), karena menyebabkan dengki, fitnah dan tengkar.

Ketulusan adalah nilai besar lainnya bagi seorang pendeta. Pelayanannya bukanlah sesuatu yang terpaksa, direka-rekakan ataupun sekadarnya. Ia melayani dengan hati; segenap, sepenuh dan setulus hati. Jika tidak demikian ia sama saja dengan pedagang yang suka menipu pelanggannya dengan tawaran-tawaran yang menarik hati.

Tulus berarti melakukan segala pelayanan dengan totalitas dan kemurnian hati. Tulus tidak memuat ungkapan ’untuk diri sendiri’. Ia berbicara tanpa melebih-lebihkan dan memberi tanpa pamrih. Orang yang tulus menampilkan diri apa adanya tanpa berusaha terlihat suci. Ia benci kemunafikan dan kepalsuan. Sebaliknya, ia bekerja dengan keras, tanpa intrik mengharapkan imbalan atas usahanya.

Menurut Paulus, orang tulus selalu melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan demi manusia semata. Ia terpanggil untuk melayani, karena ia sendiri telah dilayani oleh-Nya. Jadi, perhitungannya bukan untung-rugi, tetapi balas jasa, atau lebih tepatnya bersyukur atas kasih dan penyelamatan Tuhan. Tanpa hati yang diwarnai ketulusan, kita tidak bisa membuat Allah terkesan, sekalipun melayani hingga sisa tanpa nyawa.


c. Kekuatan teladan

Maraknya kekerasan di jalanan, keluarga dan sekolah; perilaku korupsi, perusakan lingkungan, kurangnya tanggung jawab dan tenggang rasa, memunculkan gugatan tentang hal-hal apa saja yang diajarkan di dalam gereja. Barangkali satu masalah besarnya adalah berkurangnya “keteladanan” ketika proses penanaman nilai-nilai kehidupan berlangsung. Dalam percakapan terlalu sering muncul ungkapan nato alias no action talk only atau ‘omdo’ alias omong doang. Yang artinya, banyak pemimpin, guru, orang tua termasuk pendeta yang hanya pintar bicara dan debat, tetapi tidak untuk berbuat. Padahal kita tahu bahwa cara paling efektif menyampaikan pesan kepada siapapun adalah dengan menghidupkan apa yang disampaikan melalui keteladanan.

Kita sedang menyaksikan makin memudarnya keteladanan para pemimpin jemaat saat ini, sehingga anggota jemaat menjadi uring-uringan menghadiri dan menjalankan pelayanannya. Kita membutuhkan perubahan perilaku yang drastis. Sudah saatnya para pemimpin jemaat memberikan teladan yang baik kepada segenap anggotanya. Sadarlah bahwa “buah jatuh dekat dari pohonnya”, yang artinya betapa penting keteladanan dalam mentransformasikan nilai dari generasi ke generasi. Kita tentu tidak mau buah-buah kita membusuk dan terbuang percuma bukan? Jika demikian, pilihannya ialah menjadikan diri kita sebagai mimbar yang berdampak besar melalui iman, nilai dan teladan diri, agar semakin dekat dan berdampak bagi pertumbuhan hidup siapapun, bahkan apapun.

Mimbar dan Pemberitaan Firman

Manifestasi Allah di mimbar gereja terlebih berbobot melalui pelayanan firman. Firman yang kita dimaksud mencakup bagian Alkitab yang dibacakan dan dijabarkan, juga kebenaran yang Allah nyatakan sendiri di dalam hati umat yang dikenan-Nya. Tentu saja begitu, karena kita tidak dapat membatasi kebenaran Tuhan, apalagi hanya pada apa yang tertulis. Kebenaran Allah bertebaran di mana-mana dalam hidup manusia dan dinyatakan kepada siapapun yang dilayakkan untuk menerimanya.

Mimbar adalah ruang khusus Allah berbicara verbal kepada manusia. Ia berbicara melalui hamba-hamba-Nya. Di dalam pemberitaan firman itu Allah dan sejarah-Nya dengan konsisten dinyatakan. Kisah-kisah-Nya terus dibacakan. Perbuatan ajaib-Nya lagi-lagi diceritakan. Nasehat dan janji-janji-Nya tiada henti dikumandangkan. Tepat sekali, seperti pahlawan yang gagah perkasa dan penuh welas asih Ia terus dibicarakan dan dinantikan.

Tujuan pemberitaan firman itu tentu saja mulia. Melalui pemberitaan itu kisah Allah dapat dipahami dan perbuatan-Nya dialami. Nasehatnya memberi inspirasi dan janji-janji-Nya menghembuskan harapan baru bagi umat di sepanjang masa. Pemberitaan firman diharapkan akan sungguh mempertemukan umat dengan Tuhan, tidak saja dalam pemahaman yang benar, tetapi juga dalam pengalaman hidup yang terus segar. Firman Allah itu pada akhirnya harus membarui seluruh aspek hidup jemaat, sehingga tercapai tujuan puncak yang diharapkan Tuhan Yesus: ”Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku, seperti Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:20).

Akan tetapi, sebuah cerita, kisah atau kata-kata bijak tidak memberi dampak dengan sendirinya. Sebuah kisah di kepala akan menginspirasi jika dibahasakan dengan baik. Cerpen yang digemari selalu dikalimatkan dengan menarik. Kata-kata bijak akan maksimal sentuhannya jika dibawakan dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan banyak hal seperti cara, situasi, tujuan dan kebutuhan yang utama. Demikian pula dalam pewartaan firman Tuhan. Alkitab tidak akan berbicara dengan sendirinya di atas mimbar. Ia harus dibacakan, diperagakan dan dicontohkan agar dapat dipahami umat dengan benar dan mendalam. Dengan begitu, firman Tuhan akan semakin dekat dengan kehidupan jemaat. Inilah artinya mendorong mimbar mendekati kursi kehidupan jemaat.

Pasti pembaca bertanya: Bagaimana firman Tuhan itu dapat sampai kepada pendengarnya dengan utuh? Saya kira sebuah berita tidak dapat diterima secara utuh, karena keterbatasan si pemberita dan si pendengar. Akan tetapi kita dapat mengupayakan maksimalisasi dalam pemberitaan itu, agar sedapatnya tidak banyak yang hilang dari berita itu. Harapan terdalamnya, berita itu tidak hanya sampai tetapi juga mengubah hidup yang menerimanya. Untuk itu perhatikan baik-baik hal berikut ini:


a. Isi beritanya
Hal penting pertama yang harus dimengerti ialah soal isi beritanya. Yang diharapkan istri tentara dari sepucuk surat suaminya ialah berita lengkap tentangnya di medan perang. Kerinduan pasangan yang lama berpisah ialah mengetahui berita sepenuhnya tentang kekasihnya; yakni keadaan, pengalaman dan tentu saja isi hatinya yang terdalam. Demikian pula dalam pemberitaan firman, kita harus mengerti maksud terdalam jemaat datang beribadah di gereja kita.

Pahamilah bahwa kerinduan terbesar jemaat ialah bertemu dengan Tuhan. Harapan mereka ialah melihat Tuhan dan Tuhan melihat diri mereka. Oleh karena itu, dalam pemberitaan firman, Allahlah yang harus menjadi isi intinya. Seorang tukang pos tidak boleh menahan surat di tangannya dan menggantinya dengan kisah hidupnya sendiri. Seorang penginjil pun tidak boleh menggantikan firman Allah dengan kisah hidupnya sendiri. Juga tidak dengan kisah orang lain. Yang ingin didengar jemaat bukanlah ocehan kosong biografi si pengkhotbah ataupun kalimat-kalimat karangan tokoh lain. Itu hanyalah kerupuk dalam menu nasi goreng. Pelengkap semata.

Ketika Tuhan tidak lagi menjadi isi dalam khotbah, perhatikanlah betapa bersarnya masalah yang muncul. Akan terlalu banyak orang yang menyepelekannya. Begitu banyak orang yang mengalihkan perhatian dengan mengetik SMS, menerima panggilan telepon, mengobrol, bersenda gurau, meninggalkan ruang ibadah, tidur, dan sebagainya. Mereka memperlakukan khotbah seperti menonton film di bioskop, terserah disimak atau tidak. Itu terjadi karena mereka tidak bertemu dengan Tuhan sumber hidup mereka. Akibatnya, mereka tidak bertumbuh maju dalam iman, karakter dan nilai-nilai hidup.

Kesalahan terbesar rasanya bukan pada orang yang menyimak, sekalipun ada juga yang keterlaluan. Yang bertanggung jawab ialah pada pihak yang menyampaikan, yang kerap melupakan Tuhan di dalam khotbah mereka. Khotbah masa kini terlalu banyak dikuasai oleh hal-hal fenomenal yang dangkal, mitos-mitos kuno, lelucon yang tidak nyambung, kesaksian yang sangat egosentris dan pesan-pesan personal yang tidak mendarat. Akibatnya Tuhan menjadi hilang dan tidak dijumpai orang mereka yang datang dengan kerinduan besar.

Oleh karena itu, inti berita sebuah khotbah ialah Kristus, Allah yang menyatakan diri dalam pribadi insani. Khotbah harus memuat kisah, kasih, karya dan komitmen pemeliharaan Allah di dalam Yesus yang terus-menerus mengalir. Jika mencontek para pembelajar, maka kalimat tegasnya ialah khotbah itu harus kristosentris. Jemaat harus menemui Yesus di dalam setiap khotbah, meliputi kasih-Nya yang tak terbatas, perjuangannya menyelamatkan dunia, janji dan kuasa pertolongan-Nya dalam pergumulan hidup manusia. Itu yang menghibur, memotivasi dan membaharui hidup jemaat. Itu yang selalu rindu mereka dengar.


b. Metode Pemberitaan
Terus terang saja bahwa berkhotbah itu sama dengan siaran di radio. Keduanya merupakan proses penyampaian berita. Ada si pembawa berita, pesan, dan juga orang yang menerimanya. Perbedaannya tentu saja hanya soal jarak antara si pemberita dan si penerima.

Seperti dalam berkhotbah, siaran radio juga memiliki banyak kendala yang membuat berita tidak sampai kepada penerima yang dimaksud. Selain jarak, teknologi, kondisi cuaca dan si penerima, salah satu penentu keberhasilan pengiriman pesan ada pada pihak si pengirim. Yang sedang kita bicarakan adalah kreativitas teknis si penyiar, yang juga merupakan pergumulan besar bagi banyak sekali pengkhotbah.

Banyak pengkhotbah sering berkata begini:
- Ide sih banyak, tapi gimana ngungkapinnya yach?
- Kok, khotbah tulisanku lebih bagus daripada khotbah di mimbar yach?
- Aduh, nggak puas nih dengan khotbah tadi.
- Jemaat bisa nangkap nggak yach khotbah-khotbahku?
- Gaya orang itu berkhotbah lebih bagus dibanding Saya.

Pergumulan di atas bicara soal cara teknis pemberitaan. Orang yang mengabaikan pentingnya metode berarti sedang membiarkan usahanya memperoleh skor minimal. Jika pesan itu begitu penting, segala hal akan kita lakukan bukan? Itu yang saya maksud di dalam berkhotbah ini. Untuk membuat jemaat mengerti Kebenaran Firman Tuhan, kita harus melakukan segala sesuatu. Kita harus belajar seperti di sebuah ruang Teater: melompat, berteriak, menangis, berdiam diri, tertawa, berjalan, atau marah jika perlu. Tidak lagi cukup hanya dengan sebuah kisah dan umpama. Kita harus berani membawa batu, pohon, boneka, ember, kayu, buku, atau laptop jika perlu. Semua demi Firman Tuhan.

Jangan dulu mengernyitkan kening. Yang Saya maksud kita tidak sedang merendahkan firman Tuhan. Ini juga bukan usaha mempermainkan, meremehkan, menduniawikan atau mengkomersialisasikan kebenaran Tuhan. Tetapi kita harus berpikir keras bagaimana agar jemaat betul-betul mudeng dengan apa yang kita bicarakan tentang firman itu. Kita harus membuatnya mudah ditangkap, diolah dan dimengerti dalam hati. kita harus membuatnya seperti terpatri, melekat, membekas dan mengubah bagian yang rusak. Kita pun jangan lagi geli terhadap teknologi, dengan menolak mempelajarinya. Sebaliknya, sadarlah bahwa dunia yang tanpa tampilan teknologis sudah ditinggalkan penggemarnya, bahkan sejak puluhan tahun lalu.


c. Aktualitas Kebutuhan
Segala sesuatu harus relevan, sebab jika tidak sebaiknya dikubur saja. Memang demikian, bahwa yang tidak berguna selayaknya dibuang saja dari gudang kehidupan kita. Maksud saya, jangan sekali-kali mengkhotbahkan sesuatu yang tidak memiliki relevansi dengan kehidupan jemaat, agar kemudian tidak ditertawakan dan diabaikan. Jangan membuat firman Tuhan menjadi sia-sia, dengan tidak menyentuh kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan jemaat.

Di sini kita tidak sedang menyalahkan Alkitab yang sejauh ini tidak bisa dikurangi atau ditambah, tetapi kita harus lebih tajam melihat pertalian firman Allah dengan kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa tidak sembarangan Alkitab tertulis demikian, melainkan ada kehendak Allah di setiap bagiannya yang penting artinya bagi kehidupan jemaat.

Mengapa khotbah sering direspon “terlalu tinggi, kurang mendarat, mengawang-awang, sangat basa-basi, atau terlalu Alkitabiah”? Bisa saja bagian a dan b sudah terpenuhi, tetapi c tidak ada muatannya. Khotbah bisa sudah Alkitabiah dan komunikatif, bahkan atraktif, tetapi belum menjadi milik jemaat. Jemaat tidak merasa firman itu untuknya, karena tidak bertalian dengan kebutuhan terdalam di hatinya. Jika semua orang merasa demikian, berarti kita telah mencapai titik kegagalan serius. Kita gagal memahami keutamaan maksud firman Tuhan dan kedalaman isi hati jemaat.

Untuk menghindari kejadian buruk ini, diperlukan ketajaman mata dalam memahami persoalan-persoalan harian jemaat. Orang awam pun mengerti hal ini sehingga mereka selalu mendorong “rajin berkunjung, biar tahu masalah-masalah jemaat yang harus ditolong”. Interaksi yang tinggi dengan jemaat memang sangat menolong, baik bagi si pengkhotbah maupun bagi pendengarnya. Bagi pengkhotbah itu penting untuk mendaratkan khotbahnya di landasan yang tepat. Bagi pendengarnya, itu berarti menerima kiriman bantuan rohani yang tepat saat krisis bencana melanda kehidupan ini.

Mimbar dan Manifestasi Allah

Dengan keberanian besar kita dapat berkata bahwa mimbar adalah manifastasi sederhana kepribadian Allah. Mimbar itu istimewa karena Allah istimewa di dalamnya. Mimbar itu menjadi kudus karena Allah hadir membuatnya demikian. Mimbar itu pusat peribadahan karena disadari Allah turun dan berkuasa di situ.

Kalau kata-kata ini terlalu keras, mungkin kita sederhanakan dengan mengakui bahwa mimbar adalah simbol kehadiran Allah. Setiap kali kita menatap mimbar, kita seperti berjumpa dengan Allah. Kita seolah bertemu kekasih jiwa, di Taman Impian Jaya Asih. Kita penasaran dan menanti. Kita rindu bertemu dan disapa dengan hikmatnya. Ketika ia bersuara, kita terdiam. Kita mulai terpana, lalu tertunduk seketika. Dalam sekejap bisa saja kita disulapnya dengan senyuman. Lalu kita mulai tersentuh dan menjadi bahagia. Itulah yang bisa terjadi ketika Allah sudah hadir menemui kita melalui mimbarnya, baik dalam pemberitaan firman maupun pelayan-Nya.

Semua itu pengalaman terindah bukan? Siapapun pasti rindu merasakannya lagi.

Kalau kita bantah sedikit mungkin ada gunanya. Bukankah tidak semua mimbar terasa demikian? Benar. Memang benar. Ada juga mimbar yang kurang berkharisma sama sekali. Keanggunan kekasih berkurang akibat kejauhan tatapan mata. Dari jauh, senyum pun bahkan tersembunyi. Demikian pula dengan binar-binar mata, tidak terlihat. Untuk itu, kita perlu berdekatan. Baiknya bertatapan. Dengan demikian, masing-masing lebih merasakan indahnya keintiman perjumpaan. Ketika kita mendekat, lalu Allah pun melangkah maju, di situlah keintiman itu menjadi milik kita.

Oleh karena itu, mimbar yang adalah manifestasi Allah itu haruslah didorong sedemikian dekatnya dengan jemaat. Jangan menata mimbar jauh dari tempat duduk jemaat, atau bagaikan menonton sepakbola dari sudut terujung stadion pertandingan. Jemaat bukan penonton, yang tidak ada kaitannya dalam perjumpaan pertandingan. Mereka juga bukan ‘nyamuk’ dalam istilah berpacaran, sehingga dapat diabaikan. Mereka kekasih. Jadi tempatkan mereka sedekat mungkin dengan Allah. Dorong mimbar sedekat mungkin dengan mereka. Hindari penataan ruang mirip stadion pacuan kuda. Allah tidak berbahaya. Mimbar yang terlalu jauh akan membuat keterasingan. Mimbar yang terlalu tinggi, menggoda hilangnya konsentrasi. Mimbar yang terlalu kecil terasa raib kharismanya. Sebaliknya terlalu besar sulit melihat sudut fokusnya.
Sebagai strategi mendorong perubahan ini, sudahkah mimbar gereja kita mewakili kharisma Allah. Ia anggun sekalipun tidak mewah. Ia kaya sekalipun tiada hiasan. Ia kudus walau tidak mencolok. Tidak perlu besar yang menelan penunggangya. Jangan pula seadanya seperti tidak terurus sama sekali. Ia harus bersahaja. Ia harus bersahabat, seperti pemiliknya. Yang sangat penting juga, ia harus dekat. Seolah di tengah-tengah kita. Mudah ditatap. Terasa menyapa. Ramah. Dan, Ia menghadirkan kepribadian Allah. Demikianlah jemaat akan lebih belajar betapa Allah mengasihi dan selalu ada untuk umat-Nya.

Sebuah Pengamatan Atas Mimbar Gereja

Mimbar merupakan sarana penting sebuah gereja, khususnya dalam seremoni peribadahan. Dalam pengertian paling dangkal, mimbar adalah sebuah tempat. Wujudnya mirip sebuah meja dan letaknya berada terdepan di ruang kebaktian. Artinya, mimbar adalah pusat tata ruang ibadah. Mimbar menjadi tempat para pelayan gereja menyapa dan berintraksi dengan jemaat.

Akan tetapi, tentu saja pengertian kita tidak akan sedangkal itu, karena sesungguhnya mimbar mewakili banyak hal. Mimbar merupakan manifestasi keilahian Allah. Mimbar merupakan tempat Allah berjumpa dan bergaul dengan umat-Nya. Mimbar adalah ruang Allah berbicara dan mengajar. Mimbar adalah juga wujud lain dari hamba-hamba-Nya, yakni mereka yang mendapat tugas sebagai pelayan-pelayan mimbar-Nya. Itulah sebabnya mimbar sepatutnya ditata, dikelola dan dihadirkan secara istimewa pula.

Mimbar selalu menjadi fokus utama tata ruang ibadah. Posisinya lebih tinggi dari kursi jemaat. Biasanya ditata dengan sangat istimewa, melebihi bagian manapun dalam ruang peribadahan. Bentuknya pun pastilah unik, indah dan menarik.

Kalau sedikit memberanikan diri berkeliling lintas gedung gereja, siapapun akan kagum menyaksikan kekayaan mimbar ini. Ukurannya variatif. Modelnya sangat beragam, melebihi tipe handphone merk manapun. Ukirannya mengikuti peradaban, mulai dari yang tersederhana sampai yang sangat tinggi kedudukan artistiknya. Posisinya pun berkasta, mulai dari yang terendah tanpa undakan, sampai yang paling tinggi dengan tangga beranak tujuh. Yang pasti ditemukan di mana-mana, mimbar selalu memiliki jarak minimal 2 meter dari kursi jemaat. Lainnya mungkin sejauh posisi tendangan penalti pada lapangan sepakbola.

Model dan posisi mimbar ini bukannya tidak menghadirkan dampak pada pelayanan gereja, khususnya bagi pelayan firman dan pelayanan firman. Kita bisa menyebutkan beberapa contoh sederhana. Posisi mimbar yang terlalu jauh akan membuat pengkhotbah terasing seorang diri. Bentuk mimbar yang terlalu tinggi akan membatasi gerak pengkhotbah berinteraksi dengan jemaat. Ia jauh dari dan di atas jemaat, seperti raja di tahta dengan rakyat di ujung pandangannya. Tentu itu menyukarkan proses berdialog. Menjadi beban dalam interaksi. Dari pengalaman, perihal ini membuat enggan untuk bertanya dan segan pula untuk meminta pendapat umat.

Akibatnya, pengkhotbah tidak ada ubahnya dengan seorang pencerita. Berbicara sendiri. Bercerita sendiri. Bertanya sendiri dan menjawabnya sendiri pula. Puji Tuhan jikalau renungannya berisi ditambah variatif dengan ilustrasi dan gerak yang tepat dan hidup. Akan tetapi menjadi persoalan jika khotbah begitu biasa, apalagi dengan suara dan olah tubuh yang amat datar. Itu seperti makan roti tawar setiap hari. Atau mendengar ocehan iklan tak berisi selama setengah jam atau lebih. Tidak kaya rasa. Begitu membosankan. Bagi Saya, ini juga pengalaman buruk.

Itulah sebabnya penataan dan pengolahan mimbar menjadi sangat penting. Sebagai masukan paling awal, perhatikanlah mimbar gereja saudara. Amati jarak, posisi, ukuran, model dan aksesorisnya. Gereja bukanlah istana dan mimbar bukanlah tahta seperti milik ratu Inggris, sehingga tidak perlu tinggi dan begitu mewah. Mimbar itu harus bersahaja dalam kesederhanaannya, sehingga memungkinkan siapapun melihatnya dengan ketulusan, keteduhan dan ketertarikan yang kuat untuk duduk diam dan berefleksi. Tidak banyak yang memahami ini, tetapi mimbar haruslah seperti ruang doa untuk umat sendiri, yang di dalamnya tidak ada lagi jarak jumpa yang begitu jauh dan suasana kesungkanan yang menghilangkan konsentrasi. Mimbar harus lebih dekat dan merasa dimiliki oleh siapapun.

Akan tetapi, sekali lagi, pengertian kita harus diperluas. Mimbar di sini bukan semata meja besar di depan ruang kebaktian. Mimbar adalah juga manifestasi Allah dan pemimpin jemaat, ruang perjumpaan dan wadah proses mengajar-belajar dengan Firman Allah sebagai materi dasarnya. Dengan demikian, yang harus didekatkan ke posisi jemaat tidak hanya mimbar dalam arti bendawinya, tetapi juga wujud pribadi pengelolanya dan manifestasi Allah di dalamnya.

Sabe Satta Bhavantu Shukitatta