Pertanyaannya, bagaimana supaya mimbar selalu digemari dan dibutuhkan? Bagaimana mempertahankan kerinduan jemaat untuk tetap interest mengunjungi dan diubahkan melalui mimbar? Tentu saudara tahu jawaban terbaiknya, yakni mempertahankan kekuatan penggunanya. Di dalamnya termasuk kekuatan iman, nilai dan teladan diri.
a. Kekuatan Iman
Seorang pendeta terkenal dengan imannya. Seorang binaragawan terkenal dengan kekuatan ototnya dan seorang ilmuwan dengan daya otaknya. Demikian pula keteguhan iman adalah milik pusaka hamba-hamba Tuhan.
Pasti terbersit di benak saudara untuk bertanya apakah ada pendeta yang bisa diragukan imannya. Jawabannya tergantung apakah saudara percaya atau tidak. Mircea Eliade, pemikir Kristen itu, rasanya benar ketika berkata bahwa manusia adalah makhluk yang suka memakai topeng. Rasanya terlalu banyak orang yang hidup munafik di dunia ini. Kekerasan hati dibungkus raut wajah yang lembut. Egoisme diri dibalut senyum yang dipaksa. Kebencian sedikit dikaburkan dengan keramahan sikap, dan keragu-raguan ditutupi ibadah yang kronologis semata. Dari banyaknya orang seperti itu, tidakkah saudara ragu diantaranya ada juga hamba-hamba Tuhan.
Saya tidak sedang memaksa saudara untuk mengakui itu ataupun menuduh nama tertentu. Tetapi saya mau katakan bahwa begitu banyak orang Kristen, termasuk pendeta sekalipun, yang masih meragukan imannya sendiri. Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadikan kemampuan diri sendiri sebagai pertahanan terakhir, bukan Tuhan. Mereka mengandalkan diri sendiri, memperjuangkan ideologi, selera dan kepentingan pribadi serta menumpuk kemuliaan bagi nama diri sendiri. Di sini iman menjadi sangat samar, kalau terlalu berat untuk mengatakannya telah sirna.
Padahal, seorang pendeta mestilah dikagumi karena keteguhan imannya. Ia beriman teguh, sehingga dipanggil untuk meneguhkan iman jemaat. Ia berpengharapan, sehingga bertugas menumbuhkan pengharapan orang lain. Ia percaya dan mempercayakan diri kepada Tuhan. Ia tidak akan memulai sebuah perdebatan yang mempertanyakan keberadaan pribadi Allah, ataupun pokok ketuhanan Yesus. Sebaliknya, ia bekerja keras siang malam untuk memperjumpakan siapapun dengan Tuhan, seperti yang ia sendiri sudah alami.
Ia beriman kepada kuasa, kasih dan kehadiran Allah. Ia percaya kepada pemeliharaan dan rancangn-rancangan indah Allah. Ia tidak takut hari esok ataupun meragukan jalan hidupnya. Dalam ketergantungan kepada Tuhan ia belajar mengorbankan selera, pandangan dan kepentingan diri, serta menjadi semakin taat kepada kehendak-Nya. Kekuatan iman inilah yang kelak menjadi dampak besar bagi pertumbuhan dan pembaruan hidup jemaat.
b. Kekuatan nilai
Iman rasanya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan pembentukan nilai-nilai diri, bagaikan turunan rumus untuk mencapai hidup yang berkemenangan. Iman selalu menghasilkan nilai-nilai hidup yang terdalam dan terpenting.
Sebagai contoh, iman kepada Kristus akan membimbing kita meraih kerendahan hati. Rendah hati ialah usaha menundukkan hati serendah-rendahnya di hadapan Tuhan dan sesama. Ini merupakan upaya memiliki hati seperti Kristus: ”...yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7). Menjadi hamba berarti mengosongkan diri dari semua keburukan hati yang menghalangi kita untuk mengasihi tanpa batas. Orang yang rendah hati tidak pernah meremehkan orang lain (Mat 7:3-5; Yoh 8:48), tetapi sangat respek terhadap siapapun. Menghargai mereka bukan karena sesuatu yang ingin kita dapatkan, melainkan karena ingin menempatkan mereka pada nilai yang sepatutnya. Sebaliknya, kesombongan dan tinggi hati adalah pelita orang fasik (Ams 21:4), karena menyebabkan dengki, fitnah dan tengkar.
Ketulusan adalah nilai besar lainnya bagi seorang pendeta. Pelayanannya bukanlah sesuatu yang terpaksa, direka-rekakan ataupun sekadarnya. Ia melayani dengan hati; segenap, sepenuh dan setulus hati. Jika tidak demikian ia sama saja dengan pedagang yang suka menipu pelanggannya dengan tawaran-tawaran yang menarik hati.
Tulus berarti melakukan segala pelayanan dengan totalitas dan kemurnian hati. Tulus tidak memuat ungkapan ’untuk diri sendiri’. Ia berbicara tanpa melebih-lebihkan dan memberi tanpa pamrih. Orang yang tulus menampilkan diri apa adanya tanpa berusaha terlihat suci. Ia benci kemunafikan dan kepalsuan. Sebaliknya, ia bekerja dengan keras, tanpa intrik mengharapkan imbalan atas usahanya.
Menurut Paulus, orang tulus selalu melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan demi manusia semata. Ia terpanggil untuk melayani, karena ia sendiri telah dilayani oleh-Nya. Jadi, perhitungannya bukan untung-rugi, tetapi balas jasa, atau lebih tepatnya bersyukur atas kasih dan penyelamatan Tuhan. Tanpa hati yang diwarnai ketulusan, kita tidak bisa membuat Allah terkesan, sekalipun melayani hingga sisa tanpa nyawa.
c. Kekuatan teladan
Maraknya kekerasan di jalanan, keluarga dan sekolah; perilaku korupsi, perusakan lingkungan, kurangnya tanggung jawab dan tenggang rasa, memunculkan gugatan tentang hal-hal apa saja yang diajarkan di dalam gereja. Barangkali satu masalah besarnya adalah berkurangnya “keteladanan” ketika proses penanaman nilai-nilai kehidupan berlangsung. Dalam percakapan terlalu sering muncul ungkapan ‘nato’ alias no action talk only atau ‘omdo’ alias omong doang. Yang artinya, banyak pemimpin, guru, orang tua termasuk pendeta yang hanya pintar bicara dan debat, tetapi tidak untuk berbuat. Padahal kita tahu bahwa cara paling efektif menyampaikan pesan kepada siapapun adalah dengan menghidupkan apa yang disampaikan melalui keteladanan.
Kita sedang menyaksikan makin memudarnya keteladanan para pemimpin jemaat saat ini, sehingga anggota jemaat menjadi uring-uringan menghadiri dan menjalankan pelayanannya. Kita membutuhkan perubahan perilaku yang drastis. Sudah saatnya para pemimpin jemaat memberikan teladan yang baik kepada segenap anggotanya. Sadarlah bahwa “buah jatuh dekat dari pohonnya”, yang artinya betapa penting keteladanan dalam mentransformasikan nilai dari generasi ke generasi. Kita tentu tidak mau buah-buah kita membusuk dan terbuang percuma bukan? Jika demikian, pilihannya ialah menjadikan diri kita sebagai mimbar yang berdampak besar melalui iman, nilai dan teladan diri, agar semakin dekat dan berdampak bagi pertumbuhan hidup siapapun, bahkan apapun.